MATA INDONESIA, KUPANG – Konflik penguasaan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale di Kabupaten Sikka antara masyarakat adat melawan PT.Kristus Raja Maumere (Krisrama) milik Keuskupan Maumere terus berlanjut.
Konflik lahan ini berawal dari perampokan penguasa Hindia Belanda pada tahun 1912 atas tanah bangsa pribumi yakni masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban, tanah ini disewakan kepada perusahaan Belanda Amsterdam Soenda Company yang berkedudukan di Amsterdam, sebagai sebuah badan hukum belanda (Naamlose Vennotschap).
Luas tanah tersebut adalah 1.438 hektar untuk usaha penanaman kapas dan kelapa oleh penguasa Hindia Belanda.
Penguasaan tanah secara paksa dipermudah oleh azas hukum Hindia Belanda yakni Domain Verkalring atau yang disebut Pernyataan Umum Tanah Hindia Belanda.
Azas hukum itu berbunyi, “selain apa yang telah ditentukan dalam Pasal 2 dan 3 dalam Agrarische Wet, maka tetap dipertahankan azas bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan menjadi eigondom (hak milik) orang lain, adalah tanah negara (algemene domeinverklaring), Domain Verklaring memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, dan sebagainya.
Kedua, untuk keperluan pembuktian kepemilikan, yakni apabila negara berperkara, maka negara lain tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.
Jika dilihat secara lebih jelas sejarahnya pada tahun 1926, hak sewa dialihkan kepada Apostolishe Vicariaat Van de Kleine Soenda Hilanden, dengan jual beli seharga F22,500, di sini tidak ada catatan yang menjelaskan Hak Sewa Kolonial Belanda berubah menjadi hak erfpacht. Namun, akibat kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan lahirnya UU PA Nomor 5 Tahun 1960, maka hak-hak atas tanah kolonial dinasionalisaikan menjadi hak atas tanah menurut hukum Indonesia, sehingga hak sewa/hak erfpacht berubah menjadi hak guna usaha (HGU).
HGU diberikan, dan paling akhir diperpanjang berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/HGU/89, tanggal 5 Januari 1989, di mana PT Diag diberikan HGU dalam jangka waktu 25 tahun, dan telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2013.
Setelah berakhirnya masa berlaku HGU PT Diag, maka menurut PP Nomor 40 Tahun 1996 dan Permen ATR Nomor 7 Tahun 2017, tanahnya berubah menjadi tanah negara di bawah penguasaan Kementerian ATR/BPN.
Jika dlihat secara utuh mengenai sejarah penguasaan tanah, harusnya pemerintah tidak serta merta mengalihkan tanah eks HGU tersebut ke pihak PT. Krisrama, harusnya mengutamakan kepentingan masyarakat adat suku Soge dan suku Goban, karena masyarakat adat memiliki bukti-bukti hak adat di atas tanah negara tersebut, seperti cerita sejarah penguasaan secara turun-temurun, cerita sejarah perlawanan, tanda batas wilayah, situs budaya, dan tempat-tempat yang dikeramatkan di atas tanah tersebut.
Dari paparan sejarah kepemilikan tanah dan kedudukan konflik agraria di atas, sebagai organisasi masyarakat sipil lingkungan hidup di NTT, yang fokus dalam advokasi kebijakan lingkungan hidup dan agraria, Wahana Lingkungan Hidup indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah segera mendistribusikan tanah-tanah eks HGU tersebut kepada masyarakat Suku Soge dan Suku Goban yang telah mendiami tanah adat mereka dengan mekanisme redistribusi tanah dalam program reforma agraria.
Kedua, Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka segera mengambil inisiatif dialog damai yang tidak merugikan masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban
Ketiga, Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka segera menghentikan segala aktivitas PT.Krisrama sebelum kasus ini terselesaikan secara baik
Menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan ancaman terhadap aktivis dan masyarakat suku Soge dan suku Goban
Penulis: Kepala Divisi Kajian hukum lingkungan WALHI NTT, Umbu Tamu Ridi