Mata Indonesia, Kupang – WALHI NTT menggelar Diskusi Publik dengan tema “Perampasan Ruang Hidup Berkedok Transisi Energi”. Diskusi tersebut dibuat dalam rangka peluncuran Tuak Lontar WALHI NTT 2023 yang merupakan laporan tinjauan akhir tahun lingkungan hidup orang Nusa Tenggara Timur.
Ketua Komunitas Sahabat Alam (Salam) NTT Cosmas Davitson dalam pemaparannya menyampaikan bahwa pihaknya akan terus menyuarakan aspirasi masyarakat NTT yang menjadi korban dari kehadiran proyek-proyek pemerintah yang malah merampas ruang hidup masyarakat.
“Ke depannya, kami mau agar setiap kebijakan pemerintah dapat pro terhadap lingkungan hidup dan sesuai dengan konsep demokrasi atau ikut melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan,” ujarnya di Kantor WALHI NTT, Rabu 27 Maret 2024.
Selanjutnya Yulianto Behar Nggali Mara yang menjadi salah satu penulis Tuak Lontar menjelaskan bahwa di Indonesia secara keseluruhan terdapat 63 titik panas bumi.
“Khusus Wilayah NTT, terdapat 8 titik panas. Namun, realisasinya hingga saat ini malah mencemari air di sekitar lokasi dan aktivitas pertanian menjadi terganggu,” katanya.
Untuk Pulau Flores, Kementerian ESDM sudah menetapkan wilayah tersebut sebagai Pulau Panas Bumi. Hal ini memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat petani.
“Penolakan terjadi karena aktivitas pertanian terhambat dan kebutuhan air bersih menjadi tercemar,” ujarnya.
Sementara Deputi WALHI NTT Yuvensius Nonga menegaskan bahwa saat ini yang menjadi kerentanan di wilayah NTT adalah ancaman krisis iklim. Di mana, wilayah NTT yang secara geografis merupakan Provinsi kepulauan sangat rentan terhadap banjir rob.
“Selain itu, ada juga anomali cuaca yang turut memberikan dampak kepada nelayan,” katanya.
Yuven menambahkan bahwa krisis iklim ini makin diperparah dengan kemunculan proyek-proyek ekstraktif seperti geothermal dan pariwisata. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 2011 di masa pemerintahan Presiden SBY. Saat itu, wilayah Balinusra diarahkan menjadi wilayah pemenuhan pangan nasional dan pariwisata.
“Hal ini membuat wilayah NTT khususnya banyak dimasukin beragam proyek yang mengarah ke food estate dan pariwisata,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan terkait transisi energi yang saat ini dibuat oleh pemerintah. Menurutnya program tersebut sebenarnya tidak mendukung sama sekali kepentingan rakyat.
“Semuanya dilakukan untuk kepentingan bisnisnya para oligarki hingga dampaknya makin memperparah krisis iklim,” katanya.
Sedangkan Juru Kampanye Polusi dan Urban WALHI Abdul Ghofar menjelaskan bahwa saat ini krisis lingkungan hidup tidak hanya terjadi di wilayah NTT atau wilayah Indonesia saja, namun terjadi di secara global.
Ia menambahkan bahwa transisi energi seharusnya menjadi jawaban atas kondisi krisis iklim yang terjadi saat ini. Tak lupa, dirinya menyoroti kinerja pemerintahan Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir.
“Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, proses transisi energi justru berjalan di tempat. Bahkan bisa dikatakan mundur 10 langkah ke belakang,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah selama ini cuma menawarkan solusi palsu transisi energi, sebab hingga saat ini kapasitas adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim masih sangat lemah. Selain itu, target pengurangan emisi yang digaungkan oleh pemerintah juga tidak terealisasi dengan optimal.
Selanjutnya Perwakilan Yayasan PIKUL Adriana Nomleni mengungkapkan bahwa dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan, pihaknya biasanya berinteraksi dengan kaum perempuan.
“Karena perempuan punya kedekatan dengan alam dan punya kemampuan untuk merawat dan melestarikan alam. Hal ini sudah kami terapkan di Pulau Semau,” katanya.
Dirinya juga menyoroti kondisi Pulau Flores yang saat ini dibanjiri dengan beragam proyek pembangunan baik dari pusat maupun pemerintah setempat kebanyakan tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup dan keadilan rakyat.
“Proyek-proyek tersebut lebih cenderung berorientasi kepada kepentingan bisnis saja,” ujarnya.
Adapun dalam laporan Tuak Lontar WALHI NTT 2023 memaparkan sejumlah temuan hasil investigasi WALHI terhadap kerja-kerja yang dilakukan pemerintah melalui proyek-proyek transisi energi di NTT yang dinilai berdampak pada sejumlah konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang meliputi perampasan lahan, pencemaran air, pengrusakan hutan, hilangnya akses dan kontrol perempuan dan masyarakat adat.