Ramadhan: Mensucikan Adab Pasca Pemilu, Menjaga Perbedaan dalam Kebhinekaan

Baca Juga

Mata Indonesia – Momentum Ramadhan 2024 Masehi /1445 Hijriah berbeda dari Ramadhan tahun sebelumnya. Bersamaan dengan bulan suci ini, warga Indonesia juga melaksanakan Pemilu baik Pilpres dan Pileg 2024 pada Februari lalu.

Pengumuman hasil rekapitulasi perolehan suara pun sudah dilakukan. Paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang satu putaran Pilpres 2024.

Meski begitu, banyak gelombang penolakan hasil tersebut dan tak jarang muncul hasutan bernada kasar bahkan umpatan yang mengarah pada hewan. Hal ini tentu di luar semangat politik, termasuk bulan suci yang sebaiknya menjaga lisan dan hati untuk suci dari keburukan hati.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas juga mengajak dalam Ramadhan kali ini masyarakat muslim lebih banyak mengintrospeksi diri. Termasuk memperkaya amalan ibadah dan juga meraih fitri selepas pemilu.

“Mari jadikan momentum Ramadhan, bulan penuh rahmat ini untuk introspeksi diri, memperbanyak ibadah, dan kembali bergandengan tangan paska kontestasi politik,” katanya melalui keterangan resmi Kemenag, dikutip, Selasa 26 Maret 2024.

“Perjuangan politik telah usai, sekarang mari berjuang meraih fitri,” tambah dia.

Ramadhan dan pemilu memiliki korelasi yang filosofis, karena salah satu outputnya adalah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Semangat dari ketakwaan dapat diterjemahkan sebagai bagian dari bentuk penerimaan, ketulusan, rendah hati dan peduli sesama.

Spirit ini kemudian melahirkan seseorang bertindak dan bertingkah laku yang santun, sebagai jalan menuntun seseorang muslim untuk meningkatkan hubungan antarmanusia dan dengan Tuhan.

Tak jauh berbeda dengan pemilu, tujuannya melahirkan masyarakat yang memiliki adab dalam memajukan negara termasuk mencapai kesejahteraan manusia. Semangat ini bisa diterjemahkan dengan sikap jujur, amanah, toleran dan saling peduli sehingga menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera. Seperti kata Aristoteles (384 SM-322SM) politik itu, bertujuan untuk kebaikan hidup manusia — politics is a good life.

Tentu puasa Ramadan dan pemilu saling bersinergi untuk menciptakan masyarakat yang beradab dalam hatinya dan menciptakan kedamaian di lingkungannya.

Redam Kebencian
Tak dipungkiri memang sejumlah kandidat yang bertarung saat Pilpres 2024, segaris dengan munculnya pendukung yang berbeda pandangan dengan pendukung lainnya. Artinya perbedaan ini menjadi irama klasik yang selalu ditemui dalam pemilu di Indonesia.

Politik hari ini justru mendistorsi tujuan politik untuk membawa kesejahteraan itu sendiri. Pemilu bukan lagi sebagai ajang untuk menyuarakan mekanisme politik yang sehat dan konstruktif, melainkan berubah menjadi medan konflik opini yang penuh intrik.

Termasuk juga penyebaran berita hoax, hasutan maupun disinformasi lainnya, menjadikan kita sulit menemukan lagi atmosfer politik yang hangat yang mengubah proses pemilu hingga atmosfer setelahnya menjadi pragmatisme politik yang penuh kebencian.

Bahkan bisa dilihat usai pemilu, masyarakat menjadi terpecah belah akibat beda keyakinan pilihan. Polarisasi ini sudah sangat akut ditunjukkan di media sosial. Setiap individu maupun kelompok semakin mengentalkan fanatisme buta, menebalkan identitas perkubuan.

Bukan berarti, perbedaan ini menjadi pagar pembatas untuk saling mengejek dan menolak bertoleransi. Gus Yaqut sapaan Menag, juga mengingatkan warga tak perlu lagi mempertajam perbedaan.

“Jika ada perbedaan itu biasa saja, termasuk berbeda menentukan awal Ramadhan. Jadi saling menghormati itu juga penting. Yang sama tak dibedakan, yang beda tak perlu dipersamakan,” ingatnya.

Hal senada disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Menurutnya hubungan manusia ketika pemilu kerap terpecah. Namun momen Ramadan ini adalah waktu yang tepat untuk dibenahi.

“Hubungan antar manusia selama Pemilu 2024 sempat rusak, jadi harus dibenahi,” kata dia Selasa.

Adanya konflik atau gesekan yang terjadi harusnya juga dihindari. Karena bulan Ramadan merupakan bulan yang suci.

“Dalam hadits disebutkan bahwa puasa seseorang sempurna dan diterima Allah hendaknya menghindari perkataan yang memecah belah, menggunjing dengan kata-kata kotor,” ungkapnya.

Melayangkan kritik di bulan Ramadhan bukan berarti dilarang. Namun Abdul Mu’ti menyarankan agar penyampaiannya yang lebih santun.

“Kritik boleh saja dilakukan. Tapi dengan kepala dingin, bukan kepalan tangan atau sampai menyulut emosi sesama,” kata dia.

Ramadan jadikan politik lebih baik
Puasa tentu saja bukan hanya persoalan kemampuan menahan lapar sepanjang siang, melainkan harus melampaui definisi fikih itu. Puasa semestinya dimaknai sebagai pintu masuk untuk “mensucikan” kembali makna dari pemilu sebagai alat untuk mencapai kesatuan dan kebaikan hidup manusia dan masyarakat secara sosial.

Terkait dengan dunia politik, terutama dalam kontestasi pemilu serentak, seyogianya bermuara pada upaya mewujudkan ‘tertib politik’ maupun tertib sosial. Karena rakyat memerlukan keseimbangan langkah untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam bermasyarakat.

Oleh sebab itu, dalam Ramadhan ini, kondisi pasca pemilu serta keadaban politik harus dijadikan agenda. Agenda besar untuk menerima segala hasil kehendak dari rakyat dengan ikhlas, serta agenda untuk membawa kemajuan untuk negeri tercinta.

Tentu perilaku tercela yang menyelimuti politik kita seperti berburuk sangka, berbohong, ghibah, hasud harus segera kita sudahi. Selain akan mengurangi kualitas ibadah puasa, perilaku buruk seperti itu berpotensi merobek jahitan kesatuan kebangsaan yang telah lama disemai oleh para pendahulu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini