Vonis Tom Lembong Sah Secara Hukum, Pakar Ajak Publik Waspadai Narasi Kriminalisasi

Baca Juga

MataIndonesia, Jakarta – Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (LEMKAPI), Dr. Drs. Edi Saputra Hasibuan, S.H., M.H., menegaskan bahwa vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong sudah sesuai dengan fakta hukum yang terungkap selama proses persidangan.

Ia mengimbau masyarakat agar tidak mudah terhasut oleh narasi provokatif yang menyebut Tom sebagai korban kriminalisasi.

“Ini proses hukum yang panjang, tidak mendadak. Semua melalui tahapan penyelidikan, penyidikan, hingga pembuktian di pengadilan,” ujar Edi,

Edi menilai, putusan majelis hakim telah memperhatikan seluruh bukti dan fakta secara menyeluruh. Ia meminta publik untuk menghormati proses hukum dan tidak terjebak dalam opini-opini yang menyesatkan.

“Kita harus menghormati proses hukum. Ini bukan kriminalisasi. Mari kawal hukum secara objektif dan dewasa,” tambahnya.

Peringatan ini muncul di tengah meningkatnya narasi di media sosial yang mencoba menggiring opini bahwa Tom Lembong menjadi sasaran politik dan bukan pelaku kesalahan administratif atau kebijakan.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan bahwa Tom Lembong telah menunjukkan ketidakcermatan dalam memberikan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Padahal, saat itu stok gula dalam negeri terbatas dan harga gula di pasaran sangat tinggi.

“Pemberian persetujuan impor GKM untuk diolah menjadi GKP dalam rangka penugasan pada PT PPI merupakan bentuk ketidakcermatan terdakwa sebagai Menteri Perdagangan,” ujar hakim anggota Alfis Setyawan saat membacakan vonis.

Hakim juga menyoroti bahwa kebijakan impor tersebut tidak melalui koordinasi lintas kementerian dan tidak mempertimbangkan secara serius dampaknya terhadap petani tebu maupun masyarakat sebagai konsumen akhir.

“Impor dilakukan tidak hanya melihat manfaat bagi pabrik gula, tapi juga harus memperhatikan manfaat bagi masyarakat dan petani,” tegas Alfis.

Vonis ini menjadi pengingat penting bahwa proses hukum harus dikawal dengan sikap dewasa, dan provokasi yang menyesatkan publik patut diwaspadai.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini