MATA INDONESIA, JAKARTA – Banyak retorika soal Undang-Undang Cipta Kerja omnibus law selama ini, namun pengamat ekonomi dan perbankan Ryan Kiryanto menilai produk hukum itu dalam jalurnya.
Jalur itu untuk mendesain percepatan penciptaan lapangan kerja dengan mensinergikan serta menyederhanakan peraturan penghambat proses birokrasi perizinan.
“Jadi semua regulasi yang sudah dan sedang berlaku kelak akan merujuk kepada OLCK (omnibus law cipta kerja) yang memang didesain untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja dengan cara mensinergikan dan menyederhanakan ketentuan per-UU-an,” ujar Ryan menjawab pertanyaan Mata Indonesia, Rabu 23 Desember 2020.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai UU Cipta Kerja membuka lapangan kerja baru karena peraturan itu mempermudah masuknya investasi.
Namun, undang-undang itu juga melindungi dan menyejahterakan tenaga kerja. Pengamat ketenagakerjaan Hemasari Dharmabumi menilai UU Cipta Kerja membuat tenaga kerja memiliki posisi tawar terhadap pemerintah.
Misalnya, soal penghapusan upah minimum kabupaten/kota bukan sebuah kemunduran. Menurutnya, yang berlaku nanti upah minimum provinsi, berbeda dengan sekarang.
Aturan pengupahan yang berlaku sekarang adalah upah di Kawarang Rp 4,7 juta per bulan sudah selesai. Menurutnya hal itu tidak bisa disebut upah minimum tetapi upah maksimum karena sudah tidak bisa diutak-atik lagi oleh tenaga kerja.
Di UU Cipta Kerja, tenaga kerja justru bisa membuka diskusi dengan pengusaha untuk menentukan upah mereka, bisa di atas patokan upah yang ditetapkan pemerintah.
Hemasari mengatakan, selama ini terdapat lebih dari 300 jenis upah minimum di Indonesia dengan nilai yang berbeda-beda. Satu provinsi seperti Jawa Barat misalnya, memiliki 28 jenis upah minimum.
Sementara Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William mengungkapkan keuntungan lain bagi para buruh dari UU Cipta Kerja adalah hak uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak ketika kontrak kerja berakhir sesuai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Selain itu, pekerja alih daya atau outsourcing tetap mendapatkan perlindungan atas hak – haknya, seperti hak atas Jaminan Sosial atau BPJS.
Sementara dalam hal waktu kerja, masih sama dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan yang baru mengatur waktu kerja yang lebih fleksibel untuk pekerjaan tertentu, seperti pekerjaan paruh waktu dan dalam ekonomi digital.
Apalagi UU Cipta Kerja juga mengatur pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak senilai 25 kali upah. Mekanismenya, pesangon 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung pemerintah melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Program JKP tidak mengilangkan manfaat dari BPJS ketenagakerjaan jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan lain bagi pekerja yang diatur undang-undang.