MATA INDONESIA, JAKARTA – Tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara. Maka jika ada masalah harus diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan hukum hak asasi manusia (HAM).
Maka, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi.
“Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi mana yang ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Mata Indonesia News, Jumat 11 Juni 2021.
Analoginya, jika ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima sebagai pelanggaran HAM?
Selain itu, dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun.
Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights).
Dalam persoalan alih status menjadi ASN di manapun, sangat wajar jika pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.
Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4 persen) menuntut diistimewakan.
Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.
Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yg tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll. tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu.