MATA INDONESIA, JAKARTA – Tren penyediaan pembangkit listrik dalam 10 tahun terakhir mengindikasikan adanya komitmen pemerintah menyediakan energi listrik yang lebih bersih.
Sustainable energy transition atau transisi energi berkelanjutan menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Di samping dua topik lainnya, yakni sistem kesehatan dunia serta transformasi ekonomi dan digital.
Sebagai salah satu dari tiga pilar utama Presidensi G20 Indonesia, forum transisi energi dalam format energy transitions working group (ETWG) berfokus kepada tiga prioritas. Yaitu, akses, teknologi, dan pendanaan.
“Dengan tiga fokus tersebut, G20 dapat mencapai kesepakatan bersama dalam mempercepat transisi energi global, sekaligus memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan dan transisi yang berkeadilan,” ujar Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi.
Melalui Forum G20 ini, Indonesia berkesempatan mendorong upaya kolektif dunia dalam mewujudkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi global secara inklusif. Indonesia pun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, dukungan penuh terhadap transisi energi global.
Negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global. Maka dari itu, negara-negara G20 memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih. ETWG fokus pada pembahasan keamanan energi, akses, dan efisiensi, serta transisi ke sistem energi rendah karbon. Termasuk juga investasi dan inovasi dalam teknologi yang lebih bersih dan efisien.
Pemerintah Indonesia pun telah berkomitmen dalam mempercepat transisi energi. Selain mematok target bauran energi dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025, Presiden Joko Widodo juga menegaskan komitmen Indonesia dalam pemenuhan net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa transisi energi harus mampu menciptakan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Berbagai langkah Kementerian ESDM untuk memuluskan jalan menuju target hijau tersebut. Salah satunya adalah mengurangi dan menghapus penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
”Transisi energi ini sangat penting bagi Indonesia. Apalagi kita bisa meyakinkan masyarakat bahwa proses ini bisa menciptakan masa depan yang lebih baik. Apakah kita melakukan face out (menghapuskan) maupun face down (mengurangi) PLTU, transisi akan segera datang,” ujar Arifin.
Selain itu, pemerintah juga akan menerapkan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e. Tarif ini akan mulai berlaku pada 1 April 2022 untuk PLTU dengan skema cap and tax. Dari subsektor minyak dan gas bumi, pemerintah menyiapkan strategi lainnya untuk mereduksi emisi karbon yaitu rencana penerapan carbon capture utilization and storage (CCUS) untuk mengurangi emisi karbon. Sekaligus meningkatkan produksi migas, pembatasan routine flaring, optimalisasi pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga dan transportasi, serta penurunan emisi metana.
Indonesia memiliki potensi EBT cukup melimpah lebih dari 3.000 GW yang bersumber dari tenaga surya, angin, hidro, panas bumi, bio energi, dan energi laut. Potensi dan teknologi EBT merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi menuju net zero emission pada 2060.
Sedangkan, Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu menyampaikan sampai dengan semester I-2020, total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional telah mencapai 71 gigawatt (GW). Pembangkit listrik berbasis batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Tanah Air. Sedangkan, pembangkit listrik EBT meraup porsi 14,69% dari total kapasistas pembangkit listrik nasional.
”Kita harus mempertimbangkan bahwa EBT dan efisiensi energi akan memainkan peran penting. Terutama rencana pemulihan ekonomi pascakondisi pandemi Covid-19. Dan memastikan keamanan energi dalam jangka panjang,” ujar Jisman.
Jisman menyampaikan sampai dengan semester I-2020, total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional sudah mencapai 71 GW. Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Indonesia. Sedangkan, pembangkit listrik EBT mengambil porsi 14,69 persen dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional.
Tren penyediaan pembangkit listrik dalam 10 tahun terakhir mengindikasikan adanya komitmen pemerintah menyediakan energi listrik yang lebih bersih. Pemerintah menyediakan pembangkit listrik yang bersumber dari EBT, mengenalkan teknologi clean coal technology (CCT), hingga mengenalkan pembangkit variable renewable energy (VRE) yang memiliki karakteristik intermittent, dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).