MINEWS.ID, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjadi polemik seksi, namun pada umumnya menolak dengan kekhawatiran melemahkan lembaga tersebut. Sementara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Nurhasan Ismail meminta kita semua tidak berburuk sangka dengan revisi tersebut.
“Isu perubahan UU KPK bisa dinilai memperkuat atau melemahkan KPK tergantung substansi perubahan. Oleh karena itu harus dicermati satu per satu sehingga bisa dinilai sebagai penguatan atau sebaliknya,” ujar Nurhasan Ismail.
Dia bahkan harus mencermati satu per satu hal yang perlu direvisi. Terutama harus dipertimbangkan apakah klausul tersebut justru bisa melemahkan. Ini poin-poin yang perlu dipertimbangkan oleh Nurhasan;
Dewan Pengawas
Institusi itu bisa mengawasi kinerja KPK termasuk tindakan penyadapan. “Apakah revisi itu akan meniadakan dan menghambat proses penyadapan yang benar-benar diperlukan dalam rangka menemukan alat bukti, yang urgen diperlukan untuk memperjelas tindak korupsinya? Bagaimana jika justru sebaliknya, untuk mendorong ke arah penyadapan yang profesional dan vital untuk memperkuat pembuktian? Itu yang harus dicermati,†ungkap Nurhasan Ismail.
Kewenangan SP3
Soal tidak diberikannya kewenangan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) kepada KPK dia berpendapat, bertentangan dengan nalar filosofis dan sosiologis hukum.
“Tidak adanya kewenangan SP3 bertentangan dengan hakikat dan karakter manusia yang lemah dan terbuka berbuat salah, karena para manusia di KPK bukan malaikat dan hal tersebut menyebabkan KPK terperosok pada perbuatan yang melanggar hak asasi manusia,†ujar Nurhasan Ismail.
Penyidik Kepolisian dan Penuntut Kejaksaan
Menurut Nurhasan kedua hal tersebut cukup beralasan tidak direvisi. Menurutnya jika KPK harus mengangkat penyidik independen dan profesional akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. “Paling tidak, Ini harus dinilai sebagai pemborosan sumber daya ekonomi dan manusia, sementara sudah ada penyidik yang siap untuk dimanfaatkan,†ujar Nurhasan Ismail.
Sebelumnya, banyak dosen UGM membuat petisi menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Mereka menilai revisi itu sebagai upaya pelemahan terhadap komisi antirasuah.
Guru Besar di Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto menuturkan para dosen tersebut membuat petisi pada Sabtu 7 September 2019 malam hingga Minggu 8 September 2019 pagi diteken lebih dari 207 dosen.
Dia menyatakan tidak menutup kemungkinan petisi itu diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, dia tidak menjelaskan kapan tepatnya penyarahan petisi tersebut. Hanya dijelaskan petisi akan diserahkan sebelum Jokowi menanggapi revisi UU KPK yang sudah menjadi usul inisiatif DPR.