MATA INDONESIA, JAKARTA – Isu separatisme di Papua terkadang banyak pelintiranya. Bukan hanya Indonesia saja, isu separatisme di negara luar juga sangat banyak. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Dr. Damos Dumoli Agusman.
”Isu separatisme di Papua kadang banyak pelintiranya. Separatisme selalu bertetangga dengan konflik. Harus diciptakan agar mimpi kemerdekaan itu tetap on atau terus ada,” kata Damos Dumoli saat webinar dengan judul Separitism and Terroism in Papua yang digelar Perhimpunan Eropa untuk Indonesia
Separatisme yang menimbulkan konflik ini berdimensi Hak Asasi Manusia (HAM). Di mana menurutnya ujung-ujungnya lari ke hak untuk merdeka.
”Konflik ini berdimensi HAM, dan ujung ujungnya lari hak untuk merdeka. Biasanya isu HAM ini dicampur aduk. Ini yang kami cermati di publik,” kata dia.
Sayangya kata dia, isu ini didekati lebih disiplin lain Antoprologi, politik, sejarahnya dan lain-lain. Tapi isu internasional tidak, karena dianggap sudah tuntas. ”Padahal bicara separatisme, bicara internasional,”kata dia.
Mereka dari kelompok pro Papua Merdeka ini selalu berdalih bahwa Papua bukan bagian republika Indonesia saat proklamasi. ”Pada tahun 1885 kolonial sudah masuk. Di mana ada pengakuan Inggris dan Jerman dalam perjanjian perbatasan East New Guinea di Papua ada perjanjian Inggris Belanda tahun 1895. Paling penting adalah dokumen pamungkas konsitusi Belanda pada saat Indonesia merdeka. Di 1938 Papua bagian dari Netherlands East Indies,” katanya.
Papua sebagai bagian dari Indonesia sesuai prinsip hukum internasional “uti possidetis juris”, yaitu prinsip untuk menentukan batas wilayah sebuah negara yang sebelumnya dijajah.
Prinsip “uti possidetis juris” mendefinisikan batas wilayah suatu negara mengikuti batas wilayah negara itu saat masih dijajah. Artinya, dalam konteks Indonesia, batas wilayahnya mengikuti batas wilayah saat masih berstatus Hindia Belanda, termasuk di dalamnya ada Papua.
Terkait Pepera, langkah tersebut merupakan upaya resolusi dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atas konflik bilateral antara dua pihak, yaitu Belanda dan Indonesia.
Pasalnya, saat penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda menangguhkan penyerahan atas Papua bagian barat karena alasan perbedaan etnis.
Belanda beralasan Papua harus dipisahkan sebagai negara sendiri, bukan menjadi bagian dari NKRI. Sedangkan Indonesia berpendapat Papua menjadi bagian dari Hindia Belanda (wilayah jajahan Belanda) yang kemudian diserahkan kepada Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.
Perbedaan pendapat tersebut, membuat KMB akhirnya ditutup tanpa keputusan soal Papua, dan kemudian dibawa ke PBB yang memproses Pepera dan hasilnya Papua Barat (saat itu Irian bagian barat) memutuskan lewat musyawarah untuk bergabung dengan NKRI.