MATA INDONESIA, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) akhirnya memilih menaikkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, pada 23 Agustus 2022.
Kebijakan itu merupakan respons dari otoritas moneter. Dalam rangka mengantisipasi lonjakan indeks harga konsumen (IHK) karena dorongan inflasi pangan dan energi.
Kendati bakal berdampak positif pada upaya pengendalian inflasi, di sisi lain akselerasi dunia usaha jadi tertahan. Melalui kebijakan itu, Bank Indonesia melakukan langkah preemptive dan forward looking guna memitigasi dampak dari penyesuaian tata kelola bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Bila mengacu laporan Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini, pendorong laju inflasi pada Juli lalu yang mencapai 4, 94 persen (year on year/yoy) adalah kenaikan harga pangan dan energi.
Nah, berpijak dari parameter itulah Bank Indonesia menilai perlu mengambil kebijakan menaikkan BI rate. Berkaitan dengan kebijakan tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, otoritas moneter mengambil keputusan itu dengan tujuan memperkuat kebijakan stabilisasi moneter.
Menurutnya, kebijakan itu sejalan dengan nilai fundamental. Menyusul masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. “Ke depan tekanan inflasi IHK (indeks harga konsumen) akan meningkat. Karena tingginya harga pangan dan energi serta pasokan yang belum stabil,” ujarnya.
Bahkan, Perry menambahkan, tingkat inflasi pada 2022 dan 2023 akan melebihi batas atas sasaran Bank Indonesia. Yaitu 3 persen plus minus 1 persen lantaran tingginya harga energi dan komoditas pangan global serta kesenjangan pasokan. Terlebih, inflasi volatile food tercatat sangat tinggi. Yakni mencapai 11,47 persen (yoy). Sedangkan inflasi administered price melejit menjadi 6,51% (yoy).
Risiko kenaikan inflasi administered price kian terbuka seiring dengan rencana pemerintah untuk mengutak-atik tata kelola BBM bersubsidi. Perry memperkirakan, tekanan inflasi berisiko meningkat akibat kenaikan harga BBM, tingginya inflasi volatile food, serta makin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
“Berbagai perkembangan tersebut akan mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran,” ujarnya.
BI Rate
BI Rate merupakan instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia yang bertujuan dasar untuk menjaga kestabilan harga barang. Faktor yang mendorong munculnya kebijakan BI Rate adalah inflasi.
Melalui kebijakan itu, lembaga moneter itu ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS. Ini karena banyaknya pemilik dolar AS konversi ke Rupiah dengan bunga yang lebih tinggi. Hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Stabilitas nilai Rupiah tetap terjaga.
Menurut data Bank Indonesia, nilai tukar pada 22 Agustus 2022 menguat secara rerata sebesar 0,94 persen. Meskipun terdepresiasi 0,37 persen (point to point/ptp) dari akhir Juli 2022. Institusi moneter itu menambahkan perkembangan nilai tukar Rupiah tersebut sejalan dengan kembali masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan domestik. Terjaganya pasokan valas domestik. Serta persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik. Di tengah tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan jurus menaikkan BI rate, seketika menjadi obat mujarab ke depan bagi ekonomi Indonesia? Tentu sebagaimana halnya obat, tidak bisa seketika. Tetap perlu waktu. Namun, ekonomi Indonesia yang panas akan bisa teredam. Demikian pula dengan inflasi.
Dalam konteks global, kebijakan Bank Indonesia dengan menaikkan BI rate juga dilakukan beberapa negara di dunia. Amerika Serikat misalnya, telah lebih dulu menaikkan Fed Fund Rate (FFR) sebagai upaya memadamkan laju inflasi.
Terlepas adanya sejumlah negara melakukan penaikan suku bunga acuan, sebaliknya di belahan dunia lainnya ada yang melakukan memangkas suku bunganya. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, merespons positif kebijakan Bank Indonesia tersebut. Menkeu menilai, kebijakan bank sentral itu merupakan bentuk normalisasi kebijakan. Kebijakan itu cukup beralasan.
Menurutnya, pengetatan moneter merupakan salah satu pijakan bagi Bank Indonesia untuk membantu pemerintah mengantisipasi adanya lonjakan inflasi. Ancaman inflasi pun disadari penuh oleh pemerintah. Hal itu tecermin dari langkah Kementerian Keuangan yang mengusulkan penambahan alokasi anggaran subsidi BBM jenis Solar dan Pertalite.
Pada 2022, total anggaran subsidi dan kompensasi energi tercatat mencapai Rp502,4 triliun. Terdiri dari
- Subsidi energi Rp208,9 triliun
- Kompensasi BBM dan listrik Rp293,5 triliun.
Berdasarkan Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023, outlook subsidi energi pada tahun ini mencapai Rp208,9 triliun. Adapun, khusus untuk subsidi BBM dialokasikan Rp14,6 triliun.