Stop Kaitkan Rasisme AS dengan Gerakan Separatisme Papua

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Research Fellow Loyola University Chicago Ratri Istania meminta semua pihak jangan mengaitkan isu rasisme di Amerika Serikat dengan separatisme di Papua. Sebab latar belakang dua masalah itu sangatlah berbeda.

Dalam catatan sejarah, kasus rasisme di AS sebenarnya sudah ada sejak 400 tahun silam. Penyebabnya adalah perlawanan terhadap supremasi kulit putih dan penahanan massal warga kulit hitam.

“Jangan campuradukan isu rasisme AS dan separatisme di Papua. Itu dua hal yang berbeda,” katanya dalam diskusi Webinar tentang Papua Bukan Minnesota yang diselenggarakan Mata Indonesia di Jakarta, Senin 15 Juni 2020.

Salah satu kasus rasisme cukup dikenal adalah perjuangan Marthin Luther King Jr. Ia adalah tokoh pergerakan melawan diskriminasi ras dan memperjuangkan undang-undang hak sipil di AS dari tahun 1954 sampai 1968.

Isu ini pun kembali digaungkan dan kini mulai meluas. Dan berdampak pada berbagai macam ras maupun generasi dan seluruh dunia ikut berpartisipasi.

Meski saat ini ada perbaikan pola hubungan antar ras, namun kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap warga kulit hitam masih sering terjadi. Tewasnya George Floyd pun menambah rentetan panjang kasus kriminalisasi oleh aparat terhadap warga kulit hitam.

“Ada ‘Floyd’ lain misalnya Breonna Taylor, Ahmaud Arbery di tangan aparat sebagai potret buruk penegakan keadilan rasial AS,” kata wanita yang juga menjadi Pengajar di STIA LAN Jakarta ini.

Ia pun mengutip hasil riset yang dilakukan oleh Darling-Hammond 1998. Yakni sejak tahun 1960-an tingkat kemiskinan, diskriminasi ras dan level pendidikan orang tua menjadi faktor penghambat utama bagi akses pendidikan warga kulit hitam.

Hal serupa juga ditemukan dalam riset Badger dkk pada tahun 2018. Mereka mendapati ketimpangan ekonomi disebabkan oleh perlakuan berbeda atas warga kulit hitam dan kulit putih setelah tamat kuliah dan mencari pekerjaan.

“Warga kulit hitam lebih susah mendapat kerja meski berasal dari keluarga yang berpendidikan dan memiliki penghasilan yang sama dengan warga kulit putih,” ujarnya.

Bila diliat dari total populasi di AS, ras kulit hitam cuma 13 persen dan ras Hispanic sebesar 17 persen. Sementara ras kulit putih jumlah 63 persen.

Sementara dari segi jumlah orang yang dibunuh polisi, presentase kematian ras kulit hitam sebesar 32 persen, 12 persen dari ras Hispanic. Sedangkan dari ras kulit putih sebanyak 52 persen.

Kemudian dari jumlah kasus orang yang tewas di tangan polisi tanpa perlawanan, ras kulit hitam sebesar 39 persen. Sementara untuk ras kulit putih sebanyak 46 persen dan ras Hispanic 12 persen.

Selanjutnya berdasarkan tingkat hunian penjara dan proporsi penghuni berdasarkan ras yang menjadi jawaranya adalah ras kulit hitam dengan presentase 33 persen. Diikuti ras kulit putih 30 persen dan ras Hispanic sebesar 23 persen.

Ratri pun menjelaskan bahwa aksi protes soal ketidakadilan di AS ini pun memuat sejumlah pesan universal bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya terkait pemahaman konsep demokrasi sebagai sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi.

Selain itu, pemerintah, rakyat dan organisasi masyarakat harus bersatu padu. “Aksi protes untuk menyuarakan ketidakadilan rasial juga harusnya mengedepankan persatuan, bukan memecah belah warga,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini