MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Seorang utusan Amerika Serikat untuk Iran mengatakan, Teheran tidak mungkin membalas pembunuhan ilmuwan nuklir terkemukanya, Mohsen Fakhrizadeh sebelum pelantikan Presiden AS terpilih, Joe Biden. Ia menilai, balas dendam hanya akan membahayakan pencabutan sanksi di masa depan.
Fakhrizadeh dinobatkan oleh Israel dan Barat sebagai pemeran utama dalam program nuklir Iran terbunuh pada Jumat (27/11) ketika ia disergap di jalan raya dekat Teheran. Ia tewas dengan tiga peluru yang menyarang ditubuhnya, salah satunya mengenai tulang belakangnya.
Elliott Abrams, perwakilan khusus Washington untuk Iran dan Venezuela mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa Teheran sangat membutuhkan keringanan sanksi dari AS dan itu akan menjadi kalkulasi utama dalam pengambilan keputusan mereka saat Presiden AS terpilih, Biden dilantik menggantikan posisi Donald Trump pada 20 Januari.
“Jika mereka menginginkan keringanan sanksi, mereka harus memasuki semacam negosiasi setelah 20 Januari dan harus menjadi pemikiran mereka bahwa mereka tidak ingin melakukan aktivitas apa pun antara sekarang dan 20 Januari yang membuat keringanan sanksi semakin sulit didapat,” tutur Abrams, melansir Reuters, Jumat, 4 Desember 2020.
Para pemimpin dan militer Iran menyalahkan Israel atas pembunuhan Fakhrizadeh. Kantor Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu hingga saat ini menolak mengomentari pembunuhan tersebut.
Sementara dengan Washington, ketegangan dua negara telah meningkat sejak 2018, ketika Trump menarik diri dari Pakta Nuklir Iran 2015. AS kembali memberikan sanksi ekonomi keras terhadap Iran demi menekan pembatasan program nuklir, pengembangan rudal balistik, dan dukungan untuk pasukan proksi regional.
Sebagai balasan, Iran secara bertahap melanggar batasan kesepakatan pada program nuklir mereka. Biden sendiri sebelumnya telah berjanji akan membawa AS kembali ke dalam Pakta Nuklir Iran, asalkan Teheran kembali patuh pada peraturan.
Para pemimpin ulama Iran telah mengesampingkan negosiasi program misilnya atau menngubah kebijakan regionalnya. Sebaliknya, mereka menginginkan perubahan dalam kebijakan AS, termasuk pencabutan sanksi.