Soal Houthi, PBB Peringatkan AS Akan Kelaparan Parah di Yaman

Baca Juga

MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Tiga pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Amerika Serikat (AS) mencabut keputusannya untuk memasukkan Houthi Yaman ke dalam daftar organisasi teroris asing. Mereka memperingatkan bahwa keputusan AS tersebut akan meningkatkan angka kelaparan di Yaman.

Mediator PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, Kepala Bantuan PBB, Mark Lowcock, dan Kepala Makanan PBB, David Beasley melontarkan peringatan mereka saat pertemuan Dewan Keamanan PBB di Yaman. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mendukung seruan tiga pejabat tersebut agar Washington segera membatalkan keputusannya.

“Kami khawatir akan ada efek mengerikan. Keputusan itu akan berkontribusi pada prospek kelaparan di Yaman dan harus dicabut berdasarkan alasan kemanusiaan sedini mungkin,” kata Martin Griffiths, melansir Reuters, Jumat, 15 Januari 2021.

PBB menggambarkan Yaman sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan 80% warga membutuhkan bantuan. Rakyat Yaman khawatir keputusan AS dapat semakin mengisolasi mereka dari sistem keuangan global.

Para pejabat PBB berusaha menghidupkan kembali pembicaraan damai untuk mengakhiri perang karena penderitaan negara itu juga diperburuk oleh runtuhnya ekonomi, nilai mata uang, serta pandemi virus corona.

Sayang, kepala negosiator Houthi Yaman menegaskan bahwa kelompok yang mengendalikan ibu kota Sana’a itu enggan melakukan dialog damai dengan PBB dan Arab Saudi.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengumumkan langkah melawan Houthi yang berpihak pada Iran, Minggu (10/1). Dan ini akan mulai berlaku pada 19 Januari 2021 –hari terakhir sebelum Presiden Donald Trump meninggalkan Gedung Putih.

Meski menuai kecaman pejabat tinggi PBB, Menteri Luar Negeri Yaman, Ahmad Awad bin Mubarak justru mendukung keputusan AS. Ia menyampaikan di sidang DK PBB bahwa pemerintah Yaman menyambut baik keputusan tersebut.

Beberapa anggota dewan menyuarakan keprihatinan. Senada dengan tiga pejabat PBB sebelumnya, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia juga mendesak AS untuk meninjau kembali keputusannya.

“Risiko ini tidak hanya memperburuk situasi kemanusiaan di negara, tetapi juga merusak uoaya PBB yang bertujuan untuk melancarkan negoasiasi antara pihak yang bertikai,” kata Nebenzia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini