MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa bilang Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja merugikan para pencari nafkah di republik tercinta ini. Pertanyaan itu ditujukan bagi para pengkritik yang menilai RUU tersebut tak berfaedah.
Asal tahu saja, salah satu sisi positif dari tujuan RUU Omnibus Law tersebut adalah untuk menciptakan lapangan kerja bagi para pengangguran. Bahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut RUU ini berbeda dengan UU Tenaga Kerja.
“Cipta kerja itu bukan undang-undang tenaga kerja. Itu mesti dicatat. Cipta kerja adalah job creation. Ini proses utamanya adalah penciptaan. Kalau undang-undang ketenagakerjaan, kita bicara tenaga kerja yang sudah bekerja, apa hak dan kewajibannya,” ujarnya, Rabu 26 Februari 2020.
Salah satu fokus dari Omnibus Law, kata dia, adalah untuk menciptakan pekerjaan bagi 7 juta penganggur yang ada. Pun ada syarat kenaikan gaji namun tidak disertai dengan produktivitas.
“Indonesia punya kenaikan gaji tidak disertai produktivitas. Karena kita tidak punya formula yang mengaitkan dengan produktivitas. Karena kalau dikaitkan lebih ramai lagi. Karena itu yang diatur Omnibus Law ini adalah ekosistem investasi,” ujarnya.
Ekosistem investasi yang dimaksud Airlangga adalah lebih fokus kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Ekosistem investasi ini dilakukan oleh orang per orang, usaha kecil menengah. Warung bakso yang pekerjakan 2 orang itu UMKM. Yang jualan warung juga adalah investor, yang mempekerjakan 4-5 orang,” katanya.
Kemudian ketika ditanya soal sejumlah pasal yang kontroversial dalam RUU Omnibus Law, misalnya pasal 170 ayat 1 yang disebutkan salah ketik, Airlangga meminta tak perlu diperdebatkan.
Kata dia, pasal-pasal itu masih bisa diubah karena sedang dalam pembahasan di DPR RI. “Jadi koridor-koridor itu kan perlu pembahasan dan diharmonisasi. Semua biasa-biasa saja, tak ada yang diistimewakan,” ujarnya.