Senat AS Sahkan UU Larangan Impor dari Xinjiang, Alasannya Menyentuh Jiwa

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Senat Amerika Serikat (AS), mengesahkan Undang-Undang larangan impor dari wilayah Xinjiang, Cina, menyusul kekhawatiran tentang kerja paksa. Langkah ini merupakan bagian dari penolakan Washington terhadap perlakuan Beijing kepada etnis minoritas Muslim Uighur.

Senat mengesahkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur dengan persetujuan bulat, mengirimkannya ke Gedung Putih, di mana Presiden Joe Biden mengatakan dia akan menandatanganinya menjadi undang-undang.

Partai Republik dan Demokrat berdebat mengenai Undang-Undang Uighur selama berbulan-bulan. Perselisihan itu memperumit pengesahan Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahunan.

Perdebatan kedua partai juga telah menunda konfirmasi Senat tentang beberapa calon Duta Besar AS, termasuk pemilihan Nicholas Burns menjadi Duta Besar AS untuk Negeri Tirai Bambu.

Ketika mereka membuka jalan bagi pengesahan RUU Uighur pada Kamis (16/12), anggota parlemen juga sepakat untuk mengizinkan pemungutan suara di kemudian hari pada setidaknya beberapa calon Biden untuk posisi diplomatik, termasuk Burns.

Undang-Undang itu membuat ketentuan yang menciptakan praduga yang dapat dibantah bahwa semua barang dari Xinjiang – di mana pemerintah Cina telah mendirikan jaringan kamp penahanan untuk Uighur dan kelompok Muslim lainnya, dibuat dengan kerja paksa, untuk melarang impor semacam itu.

“Ini adalah situasi hak asasi manusia yang mengerikan, sepenuhnya disetujui, seperti yang kita ketahui sekarang, oleh Partai Komunis Cina,” kata Senator dari Partai Republik, Marco Rubio, melansir Yahoo News, Jumat, 17 Desember 2021.

Namun, pemerintah Cina berulang kali menyangkal telah melakukan pelanggaran di Xinjiang. Meski demikian, AS dan banyak kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa Beijing melakukan genosida terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.

Nury Turkel, seorang Uighur Amerika Serikat yang kini menjabat sebagai wakil ketua Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS, mengatakan efektivitas RUU itu akan tergantung pada kesediaan pemerintahan Biden untuk memastikannya efektif, terutama ketika perusahaan meminta keringanan.

“Kemungkinan itu tidak sepenuhnya diimplementasikan dan itu adalah salah satu perhatian utama saya. Jika ini tidak sepenuhnya dilaksanakan maka itu akan menjadi tuas mati, seperti Konvensi Genosida,” kata Turkel.

Partai Republik juga menuduh Demokrat Biden sengaja memperlambat RUU itu karena akan memperumit agenda energi terbarukan presiden. Namun, Partai Demokrat membantahnya.

Terlepas dari perseteruan dua partai, Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai memuji undang-undang tersebut.

“Kami memiliki kewajiban moral dan ekonomi untuk menghilangkan praktik ini dari rantai pasokan global kami, termasuk yang melewati Xinjiang, Cina, dan mengeksploitasi Uighur dan minoritas etnis dan agama lainnya,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini