MATA INDONESIA, JAKARTA – Soe Hok Gie, seorang intelektual muda yang berani menyuarakan kebenaran. Selain itu, ia juga pandai mengkritik pemerintahan lewat tulisan-tulisannya di surat kabar harian pada saat itu. Tak heran jika ia pandai menulis karena turunan dari ayahnya yang seorang novelis. Selama masa hidupnya Gie telah melahirkan beberapa buku.
Soe Hok Gie, penulis produktif di beberapa media massa, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Ia juga sering menulis di buku hariannya dan diterbitkan tahun 1983 dengan judul Catatan Harian Seorang Demostran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi.
Buku keduanya Di Bawah Lentera Merah merupakan buku skripsi sarjana mudanya yang berisi tentang Sarekat Islam Semarang yang pada masa itu di bawah pimpinan Semaoen dan gagasan transformasi modernisasi berproses dari wacana tradisional ke modern.
Sekitar 35 karya artikelnya, kira-kira sepertiga dari seluruhnya, selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan. Tulisannya membahas tentang masalah kebangsaan, kemanusiaan, kemanusiaan dan perjalanannya ke Amerika.
Buku terakhir adalah skripsi S1 Gie untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Buku aslinya berjudul Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan PKI Madiun September 1948. Lalu mengalami perubahan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Buku ini merupakan salah satu karya Soe Hok Gie tentang pemberontakan PKI di Madiun. Awalnya dari skripsi hasil penelitian. Namun karena penulisannya dalam bentuk populer sehingga skripsi ini seperti membaca novel sejarah dramatis yang menegangkan.
Penulisnya pun cukup hati-hati untuk tetap bersikap obyektif dalam analisisnya hingga fakta sebagai suatu yang suci dalam bangunan sejarah tetap dalam posisi yang terhormat.
Penulis juga tidak terlalu kaku dalam menceritakan kronologisnya. Soe Hok Gie juga tidak meninggalkan sisi obyektifnya dari sebuah cerita sejarah itu sendiri. Seperti nama, tanggal, dan tempat, tercantum di dalam buku ini.
”Engkau tahu siapa saya? Saya Muso. Engkau baru kemarin menjadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah dengan engkau. Lebih baik meninggal daripada menyerah, walaupun bagaimana saya tetap merah putih.”
Karena prajurit ini memang tidak bermaksud menembak mati Muso, ia lari ke desa di dekatnya. Sementara itu pasukan-pasukan bantuan di bawah Kapten Sumadi telah datang. Muso bersembunyi di sebuah kamar mandi dan tetap menolak menyerah. Akhirnya, ia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan kemudian dibakar.
Itu adalah secarik isi di dalam buku tersebut. Skripsi Soe Hok Gie ini memang sangat menarik. Banyak hal yang ada dalam skripsi ini mengenai latar belakang pemberontakan PKI 1948 sampai penumpasannya.
Buku ini bercerita tentang konflik internal PKI, adanya persaingan antar tokoh. Soetan Sjahrir, Amir Sjarifudin, Alimin, Muso, Tan Malaka dan Semaoun yang memliki sudut pandang dan pengikut masing-masing. Sjahrir menurut pandangannya memutuskan untuk membentuk partai sendiri, sosialis. Semaoen dengan Muso menguasai partai atas nama Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan Tan Malaka membentuk Partai Murba.
Dalam Pemberontakan Madiun 1948, lebih banyak menampilkan sosok Muso. Salah satu murid HOS Tjokroaminoto ini merupakan sosok senior yang sangat dominan. Kawan dan lawannya segan terhadap Muso. Sementara Tan Malaka tidak setuju adanya usaha pemberontakan ini karena masih kurang persiapannya. Muso yang baru pulang ke Indonesia hanya membutuhkan satu tahun untuk menyusun pemberontakan untuk kudeta ke pemerintahan saat itu.
Muso merasa sudah siap melakukan pemberontakan dengan Madiun sebagai pusat pemberontakan dan kota-kota lainnya di Jawa. Namun pada kenyataannya saat eksekusi dukungan buruh terhadap pemberontakan ini sangat rendah. Dan ini di luar perkiraan Muso. Sehingga mudah bagi Muhammad Hatta yang menjabat sebagai perdana Menteri, mengakhiri kudeta ini. Akhirnya, TNI menangkap Muso dan Amir Sjarifudin dan langsung mengesekusinya.
Informasi mengenai pemberontakan PKI di Madiun yang di dapat dari buku ini cukup banyak dan bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang terjadi di Madiun pada September 1948.
Reporter: Laita Nur Azahra