Selow Lah! Utang Negara Masih Aman Menurut Pengamat

Baca Juga

MATAINDONESIA, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat per akhir Juni 2019 mencapai 4.570,17 triliun rupiah, naik 8,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu 4.227,78 triliun rupiah.

Mengutip laporan APBN edisi Juli 2019 yang dirilis oleh Kemenkeu, Rabu 17 Juli lalu, porsi utang terbesar pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN) senilai 3.784,56 triliun rupiah atau 82,81 persen dari total utang.

Rinciannya, SBN berdenominasi rupiah tercatat 2.735,76 triliun rupiah dan SBN berdenominasi valuta asing (valas) senilai 1.048,8 triliun rupiah.

Kemudian, 17,19 persen sisa utang pemerintah berupa pinjaman senilai 785,61 triliun rupiah. Mayoritas pinjaman berasal dari asing yaitu senilai 778,64 triliun rupiah. Sisanya, 6,97 triliun rupiah berasal dari pinjaman dalam negeri.

Menanggapi hal ini, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa kalau dilihat dari konsensus internasional, memang indikator utang Indonesia saat ini relatif masih aman.

Alasannya, karena kalau dilihat dari rasio utang terhadap Pajak Domestik Bruto (PDB), saat ini rasio indikator utang Indonesia saat ini masih berada di angka 36 persen. Angka ini masih di bawah indikator batas aman utang internasional yaitu sebesar 60 persen.

Namun, indikator tersebut sampai saat ini masih mejadi perdebatan karena rasio ini dinilai tidak cocok ke negara berkembang seperti Indonesia. Menurut beberapa konsensus angka yang lebih cocok itu berada di 40 persen.

Di samping itu, Yusuf pun menganjurkan agar perlu memperhatikan komposisi utang negara. Saat ini banyak dilakukan dengan menerbitkan surat utang dan saat ini sebanyak 40 persen dari totalnya dipegang oleh asing.

Hal ini menjadikan surat utang kita rentan terhadap apa yang dinamakan dengan pelarian arus modal secara tiba-tiba atau sudden capital outflow.

Jika ini terjadi, maka tantangan pembiayaan, khususnya anggaran menjadi semakin berat. Sudden capital outlow juga berpotensi akan melemahkan nilai tukar rupiah secara tiba-tiba.

“Tapi sentimen positifnya, tentu biaya pembayaran bunga utang akan semakin lebih murah khususnya bunga utang dengan bunga fluktuatif,” ujar Yusuf .

Untuk mengantisipasi terjadinya sudden capital outlow, maka Yusuf menganjurkan pemerintah dan lembaga terkait perlu menerapkan sejumlah strategi.

Pertama, dalam jangka pendek, pemerintah perlu menjaga kinerja ekonomi dan stabilitas politik keamanan agar tetap positif.

Kemudian dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah dan lembaga terkait perlu memperdalam pasar keuangan dalam negeri. Salah satunya dengan cara menghimpun dana dari masyarakat baik dalam bentuk tabungan dan beragam produk investasi.

“Maka dengan begitu pembiaayan akan didominasi lebih dari dalam negeri daripada luar negeri. Sehingga resiko capital outflow bisa di minimalisir,” kata Yusuf. (Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Kenaikan PPN 1% Tidak Berdampak Negatif: Pemerintah Pastikan Kebutuhan Pokok Masyarakat Terlindungi

Jakarta – Sejumlah pihak menyambut positif rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% pada tahun...
- Advertisement -

Baca berita yang ini