MATA INDONESIA, JAKARTA – Hubungan politik dan ekonomi antara Indonesia dan Cina memang meningkat pesat di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini pun diamini oleh pakar komunikasi politik Novi Basuki. Ia mengatakan, kalau dilihat dari segi investasi yang masuk dari Cina ke Indonesia posisinya sudah berada di tiga besar atau berada di bawah Singapura dan Jepang. Padahal, dulu Cina jarang sekali masuk 10 besar investor asing di Indonesia.
“Cina lagi banyak duit dan kelebihan kapasitas produksi barang modal. Sementara Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi lagi jorjoran bangun infrastruktur yang otomatis butuh kedua-keduanya. Itu pendorong utamanya,†katanya kepada minews, 11 Desember 2019.
Basuki juga mengatakan, jika pemerintah memang ingin serius memangkas angka defisit, maka dituntut untuk kreatif dalam melakukan penetrasi pasar. “Misalnya melalui diversifikasi ekspor, baik secara horizontal (menganekaragamkan jenis produk ekspor) maupun vertikal (memperbanyak ekspor produk hilir),†ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, Indonesia juga mesti melakukan spesialisasi pada sektor yang memiliki keunggulan komparatif (export specialization) agar kelak produk yang ditawarkan memiliki daya saing.
“Jika tidak, Jokowi yang amat menggebu untuk menggenjot proyek infrastruktur dengan menggandeng Tiongkok justru akan berakibat pada membeludaknya importasi barang modal (capital goods) dari Negeri Panda itu,†katanya.
Saran lain yang diberikan Basuki adalah Indonesia perlu memanfaatkan statusnya sebagai penduduk muslim terbesar di dunia untuk menjadikan barang-barang berlabel halal sebagai salah satu produk ekspor andalan ke Cina.
“Ini sebagai antisipasi atas permintaan untuk melonggarkan pengetatan masuknya sektor hortikultura ke Cina yang belum juga berhasil dan untuk bisa mengekor Malaysia yang telah banyak mengekspor produk halalnya ke Cina,†ujarnya.
Selanjutnya soal hubungan politik antara kedua negara tersebut, Basuki juga melihatnya ada perkembangan yang bagus. Jokowi dan Xi Jinping sering ketemu. Bahkan Jokowi di periode pertamanya, menjadikan Cina sebagai negara asing yang dikunjungi pertama kali.
“Sebaliknya, negara pertama yang dijadikan Xi Jinping untuk mengumumkan Inisiatif OBOR adalah Indonesia. Mekanisme dialog antarmenteri juga terbangun baik. Ini tentu berdampak positif bagi hubungan kedua negara,†katanya.
Tapi kata Basuki yang jadi masalah sekarang justru di di akar rumput (people to people). Tak banyak wisatawan dari Cina yang tertarik ke Indonesia. Mereka lebih memilih ke Thailand, Malaysia, dan Singapura.
“Alasannya bukan saja karena minimnya infrastruktur (baik keras maupun lunak) dan promosi wisata, namun pula faktor mengakarnya stereotipe masyarakat Tiongkok terhadap Indonesia,†ujarnya.
Basuki lantas mengisahkan tentang pengalamannya selama enam tahun tinggal di Tiongkok. Kata dia, kalau warga di sana mengetahui dirinya dari Indonesia, maka kebanyakan dari mereka langsung berasumsi bahwa Indonesia plus warganya masih ’paihua’ atau anti-Tionghoa.
“Jika kita mengetikkan kata ’’Yinni’’ –maknanya adalah Indonesia– dalam aksara Han pada mesin pencari berbahasa Mandarin terbesar di dunia baidu.com, akan otomatis muncul serentetan informasi mengenai kekejaman 1998 lengkap dengan foto-foto penyiksaannya. Dalam kondisi demikian, akan sangat sulit menarik turis Tiongkok ke Indonesia,†katanya.
Maka ia menyarankan agar upaya untuk saling memperkuat kesalingpahaman mengenai pelbagai perkembangan terkini yang terjadi di kedua negara adalah sama mendesaknya dengan ajakan Jokowi ’’welcome to invest in Indonesia’’.