Saatnya Sekolah Vokasi Bangkit di Tengah Pandemi

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama satu tahun terakhir ini membuat luluh lantak dunia pendidikan. Salah satu yang terkena imbas adalah sekolah vokasi (kejuruan).

Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek, Wikan Sakarinto, mengatakan pandemi membuat kebiasaan-kebiasaan baru yang menuntut masuk ke arah new normal.

”Mau tidak mau dunia pendidikan menuntut mengikuti arah perubahan itu baik kurikulum, pembelajaran dan semunya. Termasuk guru vokasi. Bagaimana bisa belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMK) dengan terus menerus melakukan secara online. Sedangkan di vokasi ada materi pelajaran pengelasan misalnya. Bagaimana mau bisa ngelas kalau online. Karena dalam dunia usaha saat ini kita harus mempunyai sertifikasi las,” kata Wikan dalam acara WeFeatureForum di Jakarta, Sabtu 30 Oktober 2021.

Ia menuturkan, pada masa pandemi semua industri sedang turun (down) dan banyak yang gulung tikar. Jadi bagaimana sekolah bisa kerja sama dengan industri kalau industrinya juga down. “Padahal tadinya kami berharap semua kepala sekolah mempunyai ide yang bagus dapat bekerja sama industri yang ada,” katanya.

Pendiri Erudio School of Art (ESoA) Monika Irayati Irsan menjelaskan di masa pandemi Erodio menjadi sekolah yang bisa dijadikan parameter dan contoh bagi sekolah formal.

Sebab sekolah bisa memanfaatkan siswa untuk merencanakan pembelajarannya sendiri berdasarkan minat dan cara belajar mereka. Orang dewasa bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator untuk membimbing setiap siswa dalam perjalanan belajar mereka.

”Kata ekstrimnya nge-hack pendidikan Formal. Sekolah kami itu bersifat art dan sciance. Yaitu memanfaatkan potensi atau masalah di tempat dia (murid) tinggal untuk selanjutnya di buatkan project sesuai kebutuhan murid. Kemudian jadi kurikulum. Jadi kalau ada 90 murid maka akan ada 90 kurikulum,” katanya.

Irayanti, percaya bahwa bila anak mendapat peluang sesuai tujuan belajarnya, anak itu akan mempunyai tujuannya.

Struktur kurikulum menurutnya mengikuti struktur akademik. Ada pertenganan (mid) dan ada akhir (end). ”Namun itu tergantung pada anaknya masing-masing artinya materi apa yang butuh untuk mencapai tujuan kurikulum tersebut. Bisa saja kurikulum berubah kalau tidak mampu mencapai tujuannya di pertengahan tahun (semester) dan dapat di ganti dengan kurilulum yang baru,” katanya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini