MATA INDONESIA, JAKARTA – Isu pertahanan yang paling menonjol sepanjang 2020 ini adalah upaya pembelian puluhan pesawat tempur yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Diketahui sepanjang 2020, Prabowo Subianto sibuk melobi sejumlah Menteri Pertahanan termasuk Mark Esper hingga pelaksana tugas Menhan Amerika Serikat (AS), Christoper Miller.
Kesibukan Prabowo menemui para Menhan negara-negara penghasil pesawat tempur menimbulkan pertanyaan, sebab Indonesia sebenarnya sudah menandatangani MoU pembelian 11 SU-35 dengan Rusia sejak 2018 dan terkatung-katung karena tekanan AS.
Rupanya mantan Pangkostrad itu ingin Indonesia memiliki lebih dari 100 pesawat tempur unggul yang baru.
Menurut Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan RI, Rodon Pedrason, saat ini Indonesia baru memiliki 60 pesawat tempur. Jadi seharusnya kita memiliki 170 -an pesawat tempur.
Secara keseluruhan, kekuatan pertahanan udara Indonesia yang terdiri dari 390 pesawat militer merupakan terbanyak di Asia Tenggara bahkan menempati kekuatan udara urutan 28 di dunia.
Namun, sebagian besar pesawat itu bukan untuk melakukan serangan atau attacking. Paling banyak adalah helikopter angkut yang berjumlah 177 unit dan 109 pesawat latih.
Sementara pesawat tempur untuk dog fight atau pertempuran udara head to head maupun serangan khusus hanya berjumlah 66 unit saja berdasarkan catatan wikipedia. Itu sudah termasuk 32 unit Hawk buatan 1974, 16 Super Tucano yang buatan 1990 -an maupun 12 F5E/Tiger buatan 1972 yang sudah dipensiunkan 2016.
Maka, jika dibandingkan dengan negara-negara yang luasnya lebih kecil rangking Indonesia dari jumlah kepemilikan pesawat tempur urutan Indonesia merosot di 48 dunia. Itu di bawah beberapa negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 22), Vietnam (28), Thailand (30) bahkan Myanmar yang ada di urutan 36 dunia.
Padahal, pesawat tempur merupakan kekuatan udara utama dalam pertempuran udara, sedangkan dalam kondisi damai mampu menjaga wilayah udara Indonesia.
Saat mempertahankan disertasi doktoralnya, mantan Irjenau, Marsekal Muda TNI Umar Sugeng Hariyono, S.Ip., S.E., M.M. seperti dikutip airspace-review, mengungkapkan potensi ancaman di wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) cukup besar.
Mulai dari ancaman dalam bentuk pelanggaran penerbangan atau penerbangan tanpa izin (black flight) hingga ancaman dalam bentuk pengintaian, perlintasan benda-benda asing, dan pemanfaatan sumber daya alam di udara.
Maka, layaklah rencana pengembangan kekuatan menuju Ideal Essential Force (IEF) periode 2024-2039 sedikitnya memiliki lebih 600 unit pesawat militer. Jika sekarang tinggal tersisa 260 -an yang beroperasi berarti kita membutuhkan lebih dari 340 pesawat, militer termasuk pesawat tempur.
Tidak heran jika Menteri Pertahanan berusaha mendapatkan 100 pesawat tempur unggulan di akhir tahun ini. Itu pun harus pesawat tempur generasi 5 atau pesawat yang kemampuannya di atas generasi 4++ atau 4,5 sesuai IEF yang kita miliki.
Saat ini pesawat generasi 5 yang diproduksi AS, Rusia dan Cina antara lain F-35 buatan Lockheed Martin, Su-57 buatan Sukhoi Company, Chengdu J20 buatan Cina, Shenyang FC31 buatan Cina hingga Typhoon Eurofighter patungan Airbus dengan BAE Systems dari Inggris.
Sedangkan, Menhan Prabowo menjelang tutup tahun ditawari 100 F-15 Eagle dan F-18 Hornet, bukan F-35. Sementara di Prancis, Indonesia hampir sepakat soal pembelian 48 Rafale.
Lagi-lagi laman airspace-review melalui wawancara dengan perwira tinggi AU yang menolak disebut namanya memperkirakan AS tidak akan menjual versi canggih F-15 dan F-18.
Keduanya adalah pesawat tempur era 70 -an dan 80 -an, bukan lagi menjadi andalan US Air Force meski tetap digunakan hingga 2025. US Air Force kini mengandalkan F-35 dan F-22 Raptor yang ditingkatkan.
Maka melalui airspace-review, perwira itu menganjurkan kita menolak tawaran AS tersebut bukan hanya karena keduanya bukan pesawat generasi 5 tetapi kemungkinan besar Indonesia akan diberikan pesawat tua.
Tinggal kita mematangkan pembelian 48 Rafale dan 11 Su-35, meski bukan generasi 5, tetapi cukup mendekati karena keduanya tergolong generasi 4 ++ dan 4,5.
Untuk mencapai IEF, pembelian kedua pesawat tempur itu bisa untuk menambal kekurangan sambil mencari kemungkinan mendapatkan pesawat tempur generasi 5 dengan harga pantas.
Seiring dengan itu, Indonesia harus sudah mulai mengembangkan industri pertahanan sendiri mengingat banyaknya kendala nonteknis setiap melakukan pembelian baik ke AS, Rusia maupun Cina.
Apalagi, kita adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang memiliki pabrik pesawat terbang, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan sudah banyak mengekspor pesawat angkut dan intai militer, baik yang berbasis CN-235 maupun CN-295.