MATA INDONESIA, MOSKOW – Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menegaskan bahwa Moskow tidak akan menembuh jalur konfrontasi dalam menghadapi Ukraina. Meskipun menumpuk banyak pasukan di perbatasan dekat Ukraina yang memicu kekhawatiran kemungkinan invasi.
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden bahkan memberikan peringatan kepada Presiden Vladimir Putin dalam sebuah panggilan konferensi pada awal Desember. Di mana Rusia akan menghadapi konsekuensi serius jika benar-benar menginvasi Ukraina.
Namun, Presiden Putin menepis memiliki rencana untuk meluncurkan serangan. Hal tersebut kembali ditegaskan oleh Lavrov bahwa Moskow lebih mengutamakan perdamaian.
“Kami tidak menginginkan perang. Kami tidak ingin mengambil jalan konfrontasi. Tetapi kami akan dengan tegas memastikan keamanan kami menggunakan cara yang kami anggap perlu,” kata Menlu Lavrov, melansir PBS News Hour, Kamis, 23 Desember 2021.
Berbicara dalam sebuah wawancara langsung televise RT Rusia, Lavrov mengatakan bahwa Moskow akan siap untuk mempertimbangkan tuntutan Washington. Namun, memperingatkan bahwa pembicaraan tidak boleh berlarut-larut tanpa batas.
“Saya berharap AS akan menganggap kami serius mengingat langkah yang kami ambil untuk memastikan kemampuan pertahanan kami,” sambungnya.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken mengatakan bahwa Washington bekerja dengan sekutu Eropa-nya untuk mengatasi apa yang disebutnya “agresi Rusia” dengan diplomasi. Akan tetapi, menegaskan Presiden Biden menentang jenis jaminan yang dicari oleh Putin.
“Presiden telah sangat jelas selama bertahun-tahun tentang beberapa prinsip dasar yang tidak seorang pun mundur: prinsip bahwa satu negara tidak memiliki hak untuk mengubah dengan paksa perbatasan negara lain,” tegas Blinken di hadapan wartawan.
“Bahwa satu negara tidak memiliki hak untuk mendikte kebijakan orang lain atau memberi tahu negara itu dengan siapa mereka dapat bergaul. Satu negara tidak memiliki hak untuk menggunakan lingkup pengaruh. Gagasan itu harus dibuang ke tong sampah sejarah,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea Ukraina pada 2014 dan tak lama setelah itu memberikan dukungannya di balik pemberontakan separatis di timur negara itu.
Pertempuran – yang dimulai lebih dari tujuh tahun lalu, telah menewaskan lebih dari 14.000 orang dan menghancurkan jantung industri Ukraina, yang dikenal sebagai Donbas.
Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, Oleksiy Danilov, mengatakan bahwa sebanyak 122.000 tentara Rusia terkonsentrasi dalam jarak 200 kilometer (sekitar 125 mil) dari perbatasan Ukraina dan 143.500 tentara Rusia lainnya berada dalam jarak yang lebih luas, 400 kilometer (250 mil).