MATA INDONESIA, JAKARTA – Kenaikan harga sulit terhindarkan. Per 1 April 2022, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 10 menjadi 11 persen.
Kenaikan tarif PNN itu tidak ujug-ujug. Pembicaraan ini sudah sejak 2021 bersamaan dengan pembahasan RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Setelah DPR RI mengesahkannya pada 7 Oktober 2021, RUU ini menjadi UU nomor 7 tahun 2021. Maka, kenaikan tarif PPN itu kini menjadi amanah undang-undang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan PPN 1 persen (menjadi 11 persen) ini masih berada di bawah rata-rata PPN dunia. Saat ini, katanya, rata-rata PPN di seluruh dunia berada di level 15%.
Di kalangan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang beranggotakan 35 negara maju, utamanya di Eropa Barat, tarif PPN umumnya memang lebih tinggi. Di Belanda dan Spanyol, misalnya, tarif PPN sampai 21 persen. Dan Inggris serta Prancis 20 persen. Turki yang kondisinya kurang lebihnya sama selevel dengan Indonesia, PPN-nya 18 persen.
Namun untuk kawasan Asean, kenaikan PPN Indonesia agak mendahului yang lain. Hanya Filipina yang PPN-nya sudah 12 persen. Malaysia, Kamboja, dan Vietnam masih 10 persen. Bahkan, Thailand dan Singapura masih bertahan di level 7 dan 8 persen. Toh, menurut Menkeu Sri, kawasan Asean itu terhitung sebagai wilayah ekonomi dengan pajak yang relatif lebih rendah.
“Kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain, PPN Indonesia ini ada di 10 persen. Kita naikkan 11 (persen) dan nanti 12 (persen) pada 2025,” ujar Sri Mulyani.
Ekonomi Indonesia, menurut Menkeu Sri, perlu di atas fondasi pajak yang kuat, yang tidak terlalu senjang dari tarif dunia. Menkeu juga mengakui bahwa kenaikan tarif PPN itu akan menambah penerimaan negara dan memperbaiki kondisi fiskal. Dampaknya, kemampuan belanja negara akan meningkat.
”Kita jelas masih butuh pendidikan yang makin baik. Kesehatan yang makin baik. Kita butuh TNI yang makin kuat, polisi yang makin hebat supaya kepastian hukum bagus, keamanan kita bagus. Itu semuanya bisa kita capai dan kita bangun setahap demi setahap. Kalau pondasi pajak kuat,” kata Sri Mulyani.
Menkeu Sri mengatakan, bisa memahami bahwa saat ini perhatian masyarakat dan dunia usaha masih fokus pada pemulihan ekonomi. Pemerintah melihat masih ada celah yang cukup untuk mengungkit tarif PPN setinggi 1 persen. Untuk membangun pondasi perpajakan yang lebih kuat. Kenaikan itu, kata Menkeu, tidak berlebihan. Apalagi, dalam perhitungannya, masih ada celah untuk menaikkan tarif PPN itu tanpa menimbulkan dampak buruk.
‘’Apalagi, selama masa pandemi ini, APBN menjadi instrumen yang bekerja luar biasa keras, hingga perlu untuk segera sehat,’’ kata Menkeu.
Dengan skema kenaikan PPN 1 persen itu, pertambahan penerimaan pajak hanya sekitar Rp 20 triliun. Angka itu tak akan memberi guncangan, mengingat penerimaan negara dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2021 sudah mencapai Rp2,003 triliun.
Kenaikan tarif PPN itu mendapat tanggapan dari pelaku usaha secara beragam. Sebagian khawatir adanya kenaikan harga bahan baku. Walhasil biaya produksi bertambah, dan kenaikan harga jualnya naik di atas angka kenaikan tarif PPN. Masyarakat akan membeli dengan harga lebih tinggi. Sebagian yang lain tetap optimistis karena kenaikan itu berbarengan dengan kondisi ekonomi yang membaik.
Menkeu Sri menolak anggapan kenaikan tarif PPN itu akan menyusahkan penduduk miskin. Kebijakan itu, katanya, justru akan meningkatkan bantalan ekonomi bagi penduduk miskin. Rakyat lebih terawat. ”Kita butuh sebuah rezim pajak yang adil dan kuat. Ini bukan buat nyusahin rakyat, justru untuk membangun rakyat,” ujar Menkeu.
Menurut Menkeu, hasil dari pendapatan pajak akan digunakan untuk sejumlah pembangunan yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat. Misalnya, seperti penyelenggaraan sekolah, rumah sakit, subsidi listrik, subsidi gas LPG, beasiswa, bantuan BPJS, berbagai bentuk bantuan sosial, serta program bantalan sosial lainnya. Karena itulah diperlukan APBN yang sehat.