Mata Indonesia, Yogyakarta – Penggusuran yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) terhadap rumah tua peninggalan Belanda di Jalan Hayam Wuruk No. 110, Tegal Lempuyangan, Yogyakarta, menuai penolakan keras dari warga yang telah menempati bangunan tersebut sejak puluhan tahun lalu.
Warga melalui juru bicaranya, Antonius Fokky Ardiyanto, menegaskan bahwa tindakan PT KAI adalah aksi sepihak tanpa dasar hukum yang jelas.
Menurutnya, rumah yang kini menjadi sengketa telah dihuni dan dirawat oleh keluarganya sejak 1975, jauh setelah perjanjian antara perusahaan kereta swasta Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), dan Keraton Yogyakarta berakhir pada 1971.
“PT KAI tidak pernah menunjukkan bukti hukum sah bahwa rumah ini adalah aset mereka. Sementara kami memiliki SKT dari Kementerian ATR/BPN terkait penguasaan fisik bangunan. Seharusnya, jika ada perbedaan tafsir, sengketa ini diselesaikan melalui pengadilan, bukan dengan pengerahan massa,” ujar Fokky saat ditemui di Jogja Senin, 8 Juli 2025.
Fokky menyebutkan, dalam proses penggusuran, PT KAI membawa lebih dari 500 orang dan diduga melakukan tindakan intimidatif, yang bahkan disaksikan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP tanpa adanya tindakan pencegahan.
“Kami menilai tindakan PT KAI mencerminkan praktek premanisme yang dilegalkan. Mereka bertindak seolah di atas hukum. Kerugian material kami mencapai lebih dari Rp1,5 miliar,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, pihak keluarga bersama simpatisan kini tengah menggalang dukungan dan konsolidasi untuk menempuh langkah hukum.
Selain mengajukan gugatan perdata dalam waktu 14 hari ke depan, Fokky juga menyampaikan rencana aksi massa tandingan untuk merebut kembali rumah tersebut.
“Kami sedang menyusun kekuatan. Aksi balasan dengan kekuatan massa akan kami lakukan bila perlu, seperti yang dilakukan PT KAI. Kami tidak diam,” tegasnya.
Fokky juga menyoroti akar masalah yang meluas di Jawa, yaitu penggunaan peta tanah warisan kolonial tahun 1901 oleh PT KAI sebagai dasar klaim kepemilikan aset.
“Kami menentang penggunaan peta dari era NIS/VOC sebagai dasar hukum. Kami adalah warga Pro Republik yang menjunjung UUPA 1960. Kami berhak atas tanah yang kami rawat dan tinggali secara sah selama hampir 50 tahun,” ujar dia.
