MINEWS, JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) soal pengembangan produksi mobil listrik di dalam negeri sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Salah satu target dalam regulasi ini adalah mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri mencapai 35 persen di 2023.
Kehadiran Perpres ini diharapkan mendorong para pelaku industri otomotif tanah air untuk segera merancang dan membangun pengembangan mobil listrik.
“Kita tahu 60 persen mobil listrik itu kuncinya ada di baterainya dan bahan untuk membuat baterai seperti kobalt, mangan dan lain-lainya, yang semuanya ada di negara kita. Strategi bisnis ini kita rancang agar nanti kita bisa mendahului dalam membangun industri mobil listrik yang kompetitif,†kata Presiden Jokowi di Jakarta, Kamis 8 Agustus 2019.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan mengenai mobil listrik berkaitan erat dengan dua hal penting.
Pertama, Perpres mobil listrik mengenai tentang percepatan, terdapat pembagian tugas-tugas bagi kementerian, antara lain penyediaan infrastruktur, research and development dan regulator.
Kedua, pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2013 yang terkait dengan sistem fiskal perpajakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang akan mengacu pada tingkat emisi kendaraan.
“Nantinya akan ada insentif, apabila full electric vehicle atau fuel cell dengan emisi nol, maka PPnBM-nya juga nol. Jadi, berbasis kepada emisi yang dikeluarkan. Mobil listrik akan jalan apabila insentifnya pun jalan. Karena saat ini, mobil listrik harganya 40 persen lebih mahal daripada mobil biasa,†ujar Airlangga.
Dalam revisi PP Nomor 41, kata Airlangga, akan dimasukkan juga roadmap (peta jalan) mengenai teknologi berbagai kendaraan berbasis listrik, termasuk untuk mengantisipasi teknologi kendaraan berbasis hidrogen atau fuel cell vehicle.  “Jadi keseluruhan perkembangan teknologi sudah diadopsi,†ujarnya.
Lantas dalam Perpres terkait mobil listrik diatur juga Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harus mencapai 35 persen pada tahun 2023. Hal itu juga memungkinkan upaya ekspor otomotif nasional ke Australia.
“Karena dalam Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), ada persyaratan 40 persen TKDN, sehingga kami sinkronkan dengan fasilitas yang ada,†kata Airlangga.
Untuk mendorong pengembangan industri mobil listrik Tanah Air, pada tahap awal, pemerintah akan memberikan kesempatan kepada para pelaku industri otomotif untuk mengimpor dalam bentuk Completely Built Unit (CBU). Namun, dalam tiga tahun, industri diwajibkan harus memenuhi peraturan TKDN.
Airlangga menyebut, kuota impor CBU mobil listrik bergantung kepada investasi dari principal (pemilik merek). Jadi, keringanan untuk impor hanya diberikan kepada pelaku industri yang sudah berkomitmen untuk melakukan investasi kendaraan listrik di Indonesia.
Ia juga berkata, setidaknya saat ini ada tiga principal yang sudah menyatakan komitmennya berinvestasi untuk industri electric vehicle di Tanah Air dan mulai berinvestasi di dalam negeri pada 2022.
Terpisah, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan bahwa beberapa produsen otomotif menegaskan akan mulai memboyong kendaraan listriknya ke Indonesia. Misalnya, Toyota akan segera mempromosikan mobil listriknya untuk kendaraaan komersial di Indonesia.
Salah satu yang akan diboyong pabrikan Jepang tersebut adalah bus listrik. Sebagai pilot project Toyota di Indonesia, uji coba akan dilakukan di beberapa wilayah, seperti kawasan pariwisata dan beberapa kota besar untuk digunakan sebagai angkutan umum.
“Yang terpenting, charging station harus disiapkan, di samping insentif lainnya,” ujarnya
Pembahasan lebih lanjut proyek mobil listrik Toyota akan kembali digelar pada Oktober 2019. Ini merupakan bagian dari upaya menjadikan kendaraan listrik populer di Indonesia.