Pernah Jadi Panglima TNI, Begini Pernyataan Moeldoko Soal Korupsi Asabri

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kepala Staf Kepresiden Moeldoko yang pernah menjabat Panglima TNI berkomentar perihal kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri. Menurutnya, ketika dia menjadi Panglima TNI perusahaan asuransi plat merah tersebut biasa-biasa saja.

Namun sejujurnya Moeldoko tidak mengetahui kondisi di dalam perusahaan tersebut. Alasannya, Panglima TNI saat itu hanya menginventarisir kebutuhan prajurit yang membutuhkan pembiayaan dari Asabri, misalnya dalam memenuhi kebutuhan perumahan.

“Kebutuhan prajurit di sektor perumahan. Hanya menginventarisir berapa kebutuhannya. Setelah itu, diberikan kepada Asabri. Jadi, sampai batas di situ. Manajemen Asabri sama sekali kita enggak ngerti itu,” kata Moeldoko, Selasa 14 Januari 2020.

Asabri kini sedang menjadi sorotan karena dugaan korupsi yang diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD. Nilainya tidak kalah besar dari kasus Jiwasraya.

Moeldoko menjadi Panglima TNI sejak 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Menurutnya saat itu ada dua skema pemenuhan kebutuhan perumahan. Pertama pembayaran uang muka ditanggung Asabri.

Ada pula skema Asabri membayar uang muka rumah, maka prajurit akan menyicilnya melalui tabungan wajib perumahan (TWP) setiap bulan kepada bank.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini