MINEWS, JAKARTA – Accipere quam facere praestat iniuriam yang berarti Lebih baik menderita karena ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan. Begitulah sepenggal adagium Latin klasik untuk menggambarkan kisah tentang perang Menteng di Palembang pada abad ke-19.
Sang Sultan yang gagah berani, Sultan Mahmud Badaruddin II, pemimpin Kesultanan Palembang kala itu, nampaknya tak rela tanah kelahirannya diambil paksa bahkan dikuasai begitu saja oleh bangsa asing.
Upaya Belanda untuk merebut Palembang bermula dari ditandatangani perjanjian London antara Belanda dan Inggris yang membuat Inggris menyerahkan daerah koloni di Nusantara kepada Belanda termasuk Palembang. Tepatnya tanggal 19 Agustus 1816 oleh Jhon Fendall ditunjuk sebagai pengganti Thomas Stanfford Raffles.
Setelah serah terima kekuasaan, Belanda mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua Sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin Diauddin.
Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.
Kehadiran pihak Belanda di Palembang bukan tanpa alasan. Rupanya mereka telah mengetahui bahwa wilayah Kesultanan Palembang adalah salah satu penghasil lada terbesar di nusantara.
Selain itu, wilayah Bangka dan Belitung yang merupakan bagian dari Kesultanan Palembang juga dikenal sebagai penghasil timah yang cukup besar. Belum lagi letak Palembang yang cukup strategis sehingga menjadi persinggahan kapal-kapal dagang dari luar kian membubungkan hasrat Belanda untuk menguasai Palembang.
Sebagai komisaris baru di Palembang, Mutinghe mulai melakukan penjajahan secara perlahan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang. Ia berdalih ini sebagai bentuk inventarisasi wilayah, padahal ini adalah triknya untuk menguji kesetiaan Sultan Mahmud Badaruddin ll. Akan tetapi di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang oleh pengikut Sultan Mahmud Badaruddin ll.
Setelah kembali dari sana, Mutinghe bermaksud memaksa kesultanan Palembang agar menyerahkan Putra mahkota dengan maksud sebagai jaminan agar kesultanan Palembang selalu setia terhadap pemerintah Belanda, namun sampai habis batas penyerahannya kesultanan Palembang tidak menyerahkan Putra mahkotanya.
Sikap Belanda yang terlalu mencampuri urusan kesultanan dan mengekang kesultanan agar tunduk kepada Belanda, lambat laun membuat Sultan Mahmud Badaruddin II habis kesabarannya.
Pertempuran pertama akhirnya pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Lantaran seorang ulama ditembak mati oleh tentara Belanda tanpa sebab yang jelas.
Pertempuran hebat pun terjadi. Sekitar 200 prajurit Belanda dikerahkan untuk menggempur benteng pertahanan Kesultanan Palembang yang bernama Kuto Besak.
Tepian sungai Musi menjadi saksi bisu atas dentuman meriam dan kilatan mata pedang dari kedua bela pihak. Pertempuran pun terus berlanjut hingga 15 Juni 1819. Tapi karena kuatnya pertahanan Palembang yang sulit ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda, maka Mutinghe menarik mundur sisa pasukannya kembali ke Batavia dengan membawa kekalahan.
Sekembalinya ke Batavia, ia memberitahukan keadaan peperangan kepada pemerintah di Batavia saat itu, gubernur jendral G.A.G.ph Van Der Capellen.
Van Der Capellen lantas mengadakan perundingan dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Markus De Kock bagaimana caranya menaklukkan Kesultanan Palembang yang sangat sangat tangguh itu.
Akhirnya pihak Belanda memutuskan untuk kembali menyerang Palembang. Maka Belanda mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan penuh.
Jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 2000 personil dan puluhan kapal tempur. Hal ini bertujuan untuk menggulingkan Sultan Mahmud Badaruddin ll dan menguasai Palembang secara penuh, dan mengganti Sultan Mahmud Badaruddin dengan pangeran Jayadiningrat yang didukung oleh Belanda.
Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang telah didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll, maka ia mempersiapkan pertahanan yang lebih tangguh di beberapa tempat di sungai Musi sebelum masuk ke Palembang.
Sultan kemudian menjalankan strategi perbentengan di antara Pulau Kembaro dan Plaju yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan untuk membuat pancang-pancang kayu yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan, sedangkan dari belakang armada itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit.
Jika taktik ini berhasil maka armada Belanda akan terjebak di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju dan benteng-benteng yang bermeriam akan menggempur armada yang terkurung itu.
Pada tanggal 21 oktober 1819 pecah pertempuran yang kedua di sungai Musi. Pihak Belanda dipimpin oleh Wolterbeek dan Kesultanan Palembang dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Terjadi tembak menembak meriam di kedua belah pihak. lagi-lagi Belanda terpukul kalah, Wolterbeek pun menghentikan pertempuran dan memutuskan kembali ke Batavia.
Kekalahan tersebut membuat geram petinggi-petinggi di Batavia dan akhirnya Wolterbeck diturunkan dari jabatan panglima perang di Palembang. Kali ini Belanda mempersiapkan secara besar-besaran keperluan perangnya di Palembang.
Persiapan dilakukan selama 3 tahun, dari tahun 1819 sampai 1821. Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda memesan kapal-kapal langsung dari Amsterdam. Selain itu, Belanda juga mendatangkan pasukan Eropa yang merupakan veteran pada masa perang Napoleon.
Untuk pemimpin armada kali ini adalah Mayor Jendral de Kock. Kekuatan Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari serangan keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah 47 buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari Batavia.
Di kubu kesultanan sendiri, setelah pertempuran tanggal 21 oktober 1819, Sultan Mahmud Badaruddin II lalu mengangkat anaknya, Pangeran Ratu menjadi Sultan di Kesultanan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal ini dilakukan karena Sultan Mahmud Badaruddin II ingin tetap fokus melawan Belanda dan mengusirnya dari tanah Palembang.
Maka komando perang masih tetap dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju diperkuat kembali dengan meriam-meriam yang dibeli oleh sang Sultan dari seorang Eropa. Jumlah rakyat yang siap mengangkat senjata bagi kesultanan sendiri ada sekitar 7000 sampai 8000 orang.
Armada de Kock pun akhirnya tiba di muara sungai Musi pada 22 Mei 1821. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh Wolterbeck saat serangan kedua bisa ditangani dengan baik oleh de Kock. Pos-pos meriam tersembunyi di pesisir sungai Musi bisa diketahui dan dihancurkan karena dia telah mendapatkan peta strategi Badaruddin II dari seorang ulama yang berkhianat.
Satu-satunya hambatan yang berarti bagi armada itu hanyalah penyakit. Banyak serdadu-serdadu Eropa yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca tropis dan akhirnya 100 personil tewas akibat wabah penyakit tropis. Pada 16 Juni 1821, armada itu sampai ke mulut Pulau Kembaro dan Plaju.
Usahanya untuk melumpuhkan benteng Tambakbaya, salah satu posisi vital pasukan Palembang, berakhir dengan kegagalan. Akibatnya de Kock terpaksa berlayar menerobos jebakan di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju itu. Pertempuran sengit terjadi kembali.
Di saat kapal-kapal itu berupaya menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api memporak-porandakan formasi armada de Kock. Banyak kapal de Kock yang kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran empuk meriam benteng pasukan Palembang.
Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut kepayahan dan memutuskan untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101 orang, sedangkan di pihak Palembang tak diketahui.
Karena tidak ingin menderita kerugian yang lebih besar lagi, maka de Kock meminta gencatan senjata kepada Sultan Mahmud Badaruddin II. Dia berjanji tidak akan menyerang benteng-benteng Palembang pada hari Jumat.
Sebagai gantinya Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri harus berjanji untuk tidak menyerang pada hari Minggu.
Hal ini dilakukan untuk menghormati hari suci agama masing-masing. Sang Sultan sendiri pun mengiyakan tanpa curiga karena dia juga ingin memberi kesempatan beristirahat bagi pasukannya yang sedang berpuasa dan saat itu sedang bulan Ramadhan.
Tapi perjanjian itu hanya bertahan beberapa hari, karena meskipun pada hari Jumat tidak terjadi kontak senjata, secara mendadak pasukan Belanda menggempur benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh.
Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan Belanda melawan tombak dan sangkur pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju jatuh.
Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota Palembang dan bermaksud menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter dan barisan meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi.
Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan Najamuddin IV, salah satu kerabat Sultan Mahmud Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara sepihak oleh Belanda di salah satu kapal perangnya.
Sang Sultan kemudian memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin membunuh kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock.
Akhirnya, benteng Kuto Besak jatuh dan Sultan Mahmud Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya ditangkap oleh Belanda. Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan keempat antara Kesultanan Palembang melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada Najamuddin IV dari Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821.
Badaruddin II dan keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821. Sultan Mahmud Badaruddin ll lalu wafat di Ternate pada 26 September 1852.
Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap mengasingkan diri ke marga sembilan sambil melanjutkan perlawanan atas Belanda walaupun tidak sehebat Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena banyaknya perlawanan kesultanan Palembang kepada Belanda. Maka Belanda membekukan kesultanan Palembang. (Krisantus de Rosari Binsasi)