MATA INDONESIA, JAKARTA – Pakar Ekonomi, Aviliani mengatakan bahwa perbankan harus mencari cara untuk berkontribusi mendukung regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah terkait uang muka atau down payment (DP) untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
KPR yang diluncurkan oleh Bank Indonesia akan berlaku pada 1 Maret hingga 31 Desember 2021. Menurut Aviliani, KPR merupakaan salah satu indikator dalam menyumbang pertumbuhan kredit, mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang masih belum memiliki tempat tinggal.
“Pemerintah sudah memberikan regulasi yang bagus tetapi bank tetap melihat risiko yang akhirnya tidak terealisasi dalam KPR,” kata Aviliani, Jumat, 19 Februari 2021.
“Kita ingin pertumbuhannya lebih besar lagi karena suku Bungan (acuan) sudah mulai turun dan uang muka sampai akhir tahun diberikan keleluasaan sampai nol persen, tapi ini tergantung bank,” ucapnya.
Selain sektor perbankan, Aviliani mengatakan bahwa pertumbuhan KPR perlu mendapatkan support dari pemerintah daerah dan pihak pengembang. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan ekonomi dapat terlihat pada triwulan pertama tahun 2021.
Ia menambahkan, pada triwulan pertama 2021, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada teritori positif usai mengalami pertumbuhan negatif selama tiga kuartal tahun 2020.
“Kita berharap ini bisa terjadi pada triwulan pertama karena itu bank diharapkan bagaimana melihat profil risiko supaya juga ada relaksasi sehingga mereka bisa mendapatkan KPR dalam waktu lebih cepat,” lanjut Aviliani.
Pada kesempatan yang sama Direktur Grup Kebijakan dan Koordinasi Makroprudensial BI, Yanti Setiawan mengatakan bahwa KPR terlihat pada triwulan III-2020 tercermin dari pertumbuhan penjualan rumah tapak tipe menengah mencapai angka 16,44 persen.
Bank Indonesia sebelumnya merilis relaksasi berupa pelonggaran uang muka KPR paling tinggi 100 persen berlaku 1 Maret – 31 desember 2021. Adapun yang kisaran angka berada pada rentang 300 juta Rupiah -750 juta Rupiah.