MATA INDONESIA, JAKARTA – Di usia muda, Robert Wolter Monginsidi menjadi orang yang paling dicari Belanda karena serangan yang ia lakukan melalui Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), pada 17 Juli 1946.
Monginsidi dikhianati temannya, posisi dan strateginya bocor hingga sampai ke telinga tentara Belanda. Ia akhirnya ditangkap karena terjebak saat melintas di sebuah gang sempit.
Tangan dan kakinya dibelenggu dengan rantai, lalu dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makassar. Sampai akhirnya, ia dijatuhi hukuman mati karena perjuangan membela Tanah Air di usianya yang masih belia, 24 tahun.
Pihak Belanda selalu membujuknya mengajukan grasi agar mendapat pengampunan dan lolos dari hukuman mati. Tapi dengan syarat ia harus bekerja sama dan tunduk pada tentara Belanda. Namun, ia dengan tegas menolak dan lantang mengatakan, “Minta grasi? Itu berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman. Salam pada teman-teman. Saya setia sampai mati!”
Pada sisa-sisa hidup di tahanan, Monginsidi memilih untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan membaca lembaran-lembaran Alkitab. Sembari itu, Monginsidi juga sempat menulis catatan-catatan perjuangan yang berisikan semangat dan tekat pantang menyerah.
Hari penghakiman tiba. Pada 5 September 1949 Monginsidi dibawa ke hadapan regu tembak. Tak sedikitpun ia gentar meskipun kematian terlihat jelas di depan matanya. Kebanggaan sebagai putra bangsa makin tampak dari raut wajahnya.
“Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta,” katanya dengan penuh keyakinan.
Semua peristiwa ini bermula ketika Belanda melalui pasukan Netherlands Indies Civil Administration alias NICA ingin kembali menguasai Indonesia.
Akibatnya, darah muda Monginsidi mendidih karena kemerdekaan yang beru ia rasakan sesaat, kembali terancam oleh penjajah. Dari sini, ia kemudian memutuskan untuk bergabung ke dalam LAPRIS hingga memegang posisi penting di dalamnya.
Secara struktural, posisi Monginsidi di LAPRIS sebagai sekretaris. Tapi, ia lebih sering menjadi perencana operasi militer hingga ikut menyamar untuk menentukan target sasaran di lapangan. Kemampuannya sangat teruji, cukup banyak serangan LAPRIS yang berhasil akibat informasi dan keberanian dari Monginsidi. Beberapa kali ia juga turut dalam peperangan melawan NICA yang memiliki peralatan canggih.
Monginsidi kecil akrab dipanggil Bote. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius. Kitab suci menjadi sahabat putra Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. Ia dilahirkan tepat pada hari kasih sayang 14 Februari 1925.
Bote kecil dibesarkan di desa Malalayang. Tempat yang menimpanya menjadi pejuang tangguh bernyali baja. Dari pendidikan dasar di kampung halaman, ia melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco di Manado. Sampai akhirnya ia bisa berbahasa asing di sana.
Rangkaian kata ditemukan di dalam lembaran-lembaran Alkitab miliknya menjadi ungkapan terakhir pemuda yang rela mati di usia muda demi mempertahankan kemerdekaan Tanah Air. Kata-kata itu berbunyi ‘Setia hingga Terakhir dalam Keyakinan.’ (Maropindra Bagas/R)