MATA INDONESIA, JAKARTA – Manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melakukan kunjungan ke beberapa partai politik (parpol) besar termasuk PDI Perjuangan harus dimaknai sebagai upaya Ikhwanul Muslimin untuk berkuasa.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Kajian Anak Bangsa, Rudi S. Kamri, Senin 3 Mei 2021 seperti pesan yang diterima Mata Indonesia News.
“Kita tahun dalam Pilpres 2024, kemungkinan besar PKS akan mengusung Anies Baswedan. Kita harus memberikan catatan pengingat kepada masyarakat bahwa Anies mempunyai cacat politik saat Pilgub 2017 dengan melegalkan ‘ayat dan mayat’ untuk mengangkatnya sebagai pemimpin,” ujar Rudi.
Namun, cacat tersebut bukan hanya harus ditujukan kepada Anies melainkan juga PKS, karena pada 2017 partai itu juga yang mengusungnya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Sementara Ikhwanul Muslimin adalah organisasi Islam tertua dan terbesar di Mesir, didirikan Hassan al-Banna pada 1928.
Gerakan itu awalnya untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, tetapi kemudian tumbuh menjadi gerakan politik.
Di Mesir terutama, gerakan ini berjuang melawan koloni Inggris dan memberantas semua pengaruh dari Barat.
Mereka mampu menyebar ke seluruh dunia lewat aktivitas politik yang dipadukan dengan kegiatan amal.
Para anggotanya mengklaim mereka mendukung prinsip-prinsip demokrasi, tetapi tujuan yang telah ditetapkan adalah membentuk negara yang didasarkan pada hukum Islam atau syariah. Slogan yang dipakai di seluruh dunia berbunyi: “Islam adalah solusi”.
Pada akhir dekade 1940an, kelompok ini diperkirakan memiliki 500.000 anggota di Mesir, dan ideologinya telah menyebar di berbagai penjuru di Timur Tengah.
Pada saat yang sama, Banna mendirikan sayap militer Ikhwanul Muslimin yang disebut “aparat khusus”. Sayap ini bergabung dengan kekuatan lainnya untuk melawan penjajahan Inggris dan terlibat dalam serangkaian pemboman dan pembunuhan.
Pemerintah Mesir kemudian membubarkan kelompok ini pada akhir 1948 karena tuduhan menyerang target-target Inggris dan Yahudi.
Tak lama berselang, Ikhwanul Muslimin juga dituduh membunuh Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi.
Banna mengecam pembunuhan itu, tetapi dia sendiri kemudian tewas ditembak, diyakini oleh seorang anggota pasukan Mesir.
Pada 1952, penjajahan berakhir lewat kudeta yang dipimpin oleh kelompok perwira muda bernama Perwira Pembebasan (Free Officers).
Ikhwanul Muslimin ikut mendukung kudeta para perwira itu, salah satunya adalah Anwar Sadat yang menjadi presiden pada 1970. Ikhwanul Muslimin awalnya bekerja sama dengan Pemerintah Mesir, tetapi hubungan mereka memburuk dengan cepat.
Kelompok itu bahkan dituduh terlibat dalam kudeta yang gagal terhadap Presiden Gamal Abdul Nasser pada 1954, dan ribuan anggotanya kemudian dipenjara dan disiksa. Namun, kelompok ini tetap berkembang lewat gerakan bawah tanah.