MINEWS, JAKARTA – Kasus Baiq Nuril kembali menjadi perhatian publik setelah Mahkamah Agung (MA) menolak PK yang diajukan terpidana UU ITE tersebut.
Setelah ditolaknya PK tersebut, artinya Baiq Nuril akan menjalani hukuman sesuai vonis sebelumnya dari pengadilan tingkat pertama dan kasasi, yakni enam bulan kurungan dan denda Rp 500 juta.
Banyak pihak menilai kasus Baiq Nuril ini adalah bentuk ketidakadilan hukum di Indonesia. Presiden Joko Widodo pun didesak segera memberi amnesti atau pengampunan pada Baiq Nuril agar terbesar dari semua vonis tersebut.
Bisakah Baiq Nuril bebas dari hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya?
Menjawab itu, pakar hukum Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar berkata peluang untuk menyelamatkan Baiq Nuril dari semua vonis itu terbuka lebar. Dasarnya adalah UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Menurut Fickar, UU tersebut tidak membatasi amnesti hanya pada perkara politik saja. Presiden sebagai Kepala Negara atas nama kemanusiaan dan kepentingan negara bisa melindungi korban kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan termasuk Baiq Nuril.
Amnesti itu kewenangan presiden sebagai kepala negara untuk meniadakan akibat hukum dari suatu perbuatan seseorg baik yang sudah maupun yang belum dijatuhi hukuman dan mengembalikan status tidak bersalah kepada orang yang dinyatakan bersalah sebelumnya. Sementara abolisi berfungsi menghapus proses hukum yang sedang berjalan, sehingga penuntutan dihapuskan.
” Jadi peluangnya menurut saya cukup besar karena amnesti juga bisa dilakukan terhadap kasus hukum lain,” kata Fickar kepada Mata Indonesia News, Selasa 9 Juli 2019.
Ia pun ikut menanggapi soal ditolaknya PK Baiq Nuril oleh MA. Fickar berpendapat, sebenarnya penolakan PK itu secara yuridis tidak keliru, mengingat MA adalah lembaga peradilan tertinggi yang berwenang memutus kasus tersebut.
Namun, Fickar menilai putusan itu berat sebelah karena tak mempertimbangkan kekeliruan dan kekhilafan Majelis Kasasi MA yang seharusnya menolak kasasi JPU atas putusan bebas Pengadilan Negeri Mataram. Selain itu, Majelis Kasasi juga disebut keliru menafsirkan UU ITE Pasa 27 Ayat 1.
Perbuatan Baiq Nuril pun tidak termasuk kualifikasi mendistribusikan info atau dokumen elektronik bermuatan kesusilaan karena yang menyebarkan adalah temannya.
Fickar menyatakan, seharusnya tindakan perekaman suara yang dibuat dan digunakan dlm rangka pelaporan kepada pengawas kepala sekolah seharusnya dianggap dan diletakkan sebagai bentuk pembelaan diri.
Karenanya ada alasan pemaaf merujuk pada pasal 49 KUHP bagi tindakan Baiq Nuril dan seharusnya dilepaskan dari tuntutan.