Pendekatan Non-Militer TNI-POLRI Mendorong Masyarakat Papua untuk Cinta Negara

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pendekatan non-militer seperti penggalangan merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat Papua yang cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan bentuk pendekatan lunak yang bisa dilakukan oleh aparat keamanan baik TNI maupun Polri.

Pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta menilai bahwa kehadiran aparat baik TNI maupun Polri bisa mewujudkan terealisasinya hal tersebut.

“Pendekatan untuk menyelesaikan masalah di Papua tidak hanya dengan pendekatan senjata, tetapi bisa juga dengan pendekatan teritorial dan pendekatan intelijen, seperti melakukan upaya merebut hati masyarakat dan menggalang agar cinta NKRI. Kehadiran TNI di masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan bahkan infrastruktur menjadi contoh pendekatan tersebut,” kata Stanislaus kepada Mata Indonesia News, Sabtu 1 Januari 2022.

Pendekatan non keamanan sebelumnya juga dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman. Ia meminta para prajurit bekerja secara profesional tanpa menyakiti masyarakat Papua.

“Warga di Papua adalah saudara-saudara kita. Semua agar diperhatikan karena jangan sampai ada pelanggaran atau menyakiti masyarakat,” kata Dudung.

Dudung juga menyebutkan bahwa dirinya akan berkeliling ke daerah-daerah pasca serah terima jabatan. Ia ingin mengecek profesionalisme prajurit di setiap daerah operasi.

“Khususnya di Papua dan Poso, saya akan lihat sejauh mana profesionalismenya,” kata Dudung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini