MATA INDONESIA, JAKARTA – Negara-negara yang tergabung ke dalam G20 telah merumuskan enam agenda di jalur keuangan (finance track). Keenam agenda itu dinilai penting dan menjadi agenda utama Presidensi G20 Indonesia bagi pemulihan ekonomi dunia. Namun untuk mencapainya memang tidak mudah.
Keenam agenda itu adalah, pertama, strategi jalan keluar untuk mendukung pemulihan. Kedua, mengatasi efek lanjut untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan.
Ketiga, sistem pembayaran di era digital. Keempat, keuangan yang berkelanjutan. Kelima, inklusi keuangan digital, dan keenam, pajak internasional.
Nah, untuk mencapai tujuan bersama, yakni pemulihan ekonomi global, termasuk di Indonesia, seperti sama-sama diketahui, ada tiga fenomena utama yang pada beberapa waktu terakhir ini membayangi upaya tersebut.
Pertama, normalisasi kebijakan negara maju yang mulai terindikasi dari kenaikan suku bunga AS. Kedua, dampak luka memar yang berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi.
Apa saja luka memar itu? Luka itu, antara lain, terhadap pemulihan di sektor dunia usaha dan upaya transformasi di sektor riil untuk mendorong daya saing dan produktivitas, serta transisi ke ekonomi hijau dan keuangan yang berkelanjutan.
Ketiga, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang berdampak pada pemulihan ekonomi global berupa kenaikan harga-harga komoditas global, baik energi dan pangan, yang berdampak pada inflasi sejumlah negara.
Dampak lainnya adalah gangguan dalam mata rantai perdagangan global yang memengaruhi distribusi dan volume perdagangan serta pertumbuhan pada ekonomi global, serta pada jalur keuangan, di mana terjadi pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset) sehingga dapat berdampak pada stabilitas eksternal dan nilai tukar.
Berkaitan dengan fenomena itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan pentingnya agenda prioritas finance track Presidensi G20 Indonesia yang dapat berperan dalam upaya mengatasi fenomena tersebut. Menurutnya, perekonomian global tumbuh relatif tinggi, sebesar 5,7 persen pada 2021. Sayangnya, pertumbuhan itu hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok.
Perry mengatakan, kondisi ini tentu saja menjadi tidak seimbang. Bahkan, ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi tersebut berlanjut pada tahun ini.
“Perkiraanya 2022 pertumbuhan ekonomi dunia bisa tumbuh 4,4 persen. Tapi ketidakseimbangan masih berlanjut karena kemampuan dari negara-negara di dunia yang tidak seimbang,” katanya.
Negara-negara maju, kata dia, mampu melakukan vaksinasi secara cepat dan memberikan stimulus, baik stimulus fiskal maupun moneter, secara besar-besaran. Di sisi lain, kemampuan negara untuk melakukan vaksinasi dengan cepat dan memberikan stimulus sangat terbatas.
“Melakukan stimulus fiskal dan moneter juga terbatas, belum lagi banyak negara berkembang, terutama di Afrika, terbebani utang, itulah ketidakseimbangan dalam ekonomi global,” kata Perry.
Dalam konteks Indonesia, Perry juga mengungkapkan, bank sentral sangat bersyukur ekonomi Indonesia akan lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7-5,5 persen pada 2022. “Pertumbuhan sebesar itu juga karena dukungan peningkatan ekspor dan konsumsi rumah tangga. Animo positif juga datang dari investasi serta stimulus dari pemerintah dan Bank Indonesia,” ujarnya.
Perhelatan bagi publik tersebut merupakan salah satu side events seri Maret dari rangkaian G20. Secara serentak secara hibrida di Semarang, Makassar, dan Medan. Pada satu kesempatan di acara “Indonesia Conference 2022: Fitch on Indonesia-Exit Strategy after the Pandemic”, Rabu 16 Maret 2022 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyakini, pemulihan perkonomian Indonesia awal 2022 akan terus berlanjut.
“Penyebaran Omicron tidak berpengaruh pada momentum pemulihan ekonomi di awal 2022,” ujarnya.
Menkeu Sri Mulyani tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2022 tetap berada on the track, di kisaran 4,8 persen-5,5 persen yoy. Senada dengan hal tersebut, dari kota yang berbeda, Deputi Gubernur BI yakni Dody B Waluyo, Doni P Joewono, dan Juda Agung menyampaikan empat solusi yang dapat meredam luka memar (scarring effect).
Pertama, mengatasi masalah realokasi tenaga kerja. Kedua, realokasi modal, dan ketiga, meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan serta kesiapsiagaan dan pencegahan pandemi. Lalu keempat, memanfaatkan teknologi untuk memperluas literasi digital dan mengatasi hambatan investasi. Selain itu, turut mengemuka dalam diskusi itu berupa agenda sistem pembayaran.
G20 telah mendorong koneksi sistem pembayaran antarnegara yang lebih efisien. Serta menyoroti perkembangan berbagai aset dan uang digital. Baik dari sisi potensi manfaat maupun risikonya.