MATA INDONESIA, JAKARTA – Kasus pelanggaran HAM atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) masih terjadi di Indonesia. Konflik antar masyarakat terkait pembangunan rumah ibadah yang berbeda agama, menjadi salah satu pemicu konflik intoleransi beragama di Indonesia. Untuk itu, secara faktual perapuhan kebinekaan yang terjadi selama ini masih kasat mata.
Berdasarkan hasil riset Setara Institut selama pemerintahan Jokowi-JK periode pertama, dihitung dari 1 November 2014 hingga 31 Oktober 2019, tercatat bahwa ada 846 peristiwa pelanggaran KBB dengan 1.060 tindakan, yang dilakukan secara menyeluruh di Indonesia.
“Artinya terjadi rata-rata 14 peristiwa dengan 18 tindakan KBB setiap bulannya selama lima tahun kebelakang,” ujar Halili, Direktur Riset Setara Institut di Jakarta, pada Selasa, 7 Januari 2020.
Namun jumlah tersebut menurun, dibandingkan dengan masa pemerintahan Presiden SBY-Boediono pada 2009/2014. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, ada 121 kasus pada tahun 2009, kemudian jumlah tersebut meningkat jadi 184 kasus pada tahun 2010.
Semakin meningkat kasus pelanggaran KBB yang terjadi di Indonesia pada tahun 2011, yaitu terjadi sebanyak 267 kasus, kemudian 278 kasus terjadi pada tahun 2012. Hingga pada tahun 2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa. Jika dijumlahkan, selama pemerintahan Presiden SBY-Boediono telah terjadi sebanyak 1.095 peristiwa pelanggaran KBB.
Anik HT, selaku Senior Office Wahid Institut mengatakan bahwa secara umum kondisi pemerintahan Jokowi memang lebih baik, daripada di era pemerintahan SBY. Beberapa faktor diantaranya adalah kejenuhan masyarakat akan Pilkada DKI dan Pilpres yang sudah menjadikan agama sebagai komoditas.
“Kemudian pendekatan yang berbeda dilakukan Jokowi, Aparatur Negara era Jokowi lebih friendly dan tidak menampakan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok intoleran. Sedangkan era SBY, kelompok-kelompok tersebut seperti diberikan peluang dan beberapa kasus di support oleh negara,” ujar Anik HT kepada tim Mata Indonesia News, di Jakarta.
Lebih lanjut Anik menjelaskan bahwa Jokowi melakukan pendekatan yang lebih halus, sehingga tidak memberikan ruang kepada kelompok-kelompok intoleran. Hal yang dilakukan membuat suasana kondusif, presekusi berkurang dan tindakan intoleran berkurang.
“Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hal yang penting. Seharusnya institusi pendidikan menjadikan sekolah formal untuk membangun kesadaran baru, untuk membangun kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” ujar Siti Musdah Mulia, Sekjen ICRP di Jakarta.
Salah satu kasus yang terjadi di Indonesia yaitu melakukan absen sidik jari (fingerprint) oleh pejabat di Pemprov Kepulauan Riau (Kepri). Kejadian tersebut ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat dan pemuka agama, karena dianggap intoleransi beragama.
“Orang-orang ke masjid hanya untuk absen, mereka sholat karena takut akan absen yang disediakan. Ini yang dikawatirkan…,” ujar Siti Musdah Mulia, Sekjen ICRP, di Jakarta.
Saat ini Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Namun, Bonar Tigor Naipospos sebagai Wakil Ketua Setara Institut mengatakan bahwa dalam menangani permasalahan KBB tersebut membutuhkan kerjasama kita semua, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan institusi lainnya. (Hastina/R)