JAKARTA – Kasus Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis bebas dalam perkara dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tengah dalam proses permohonan pengajuan kembali (PK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal ini lantas ditanggapi oleh Pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji. Ia mengatakan, permohonan PKtersebut sebaiknya merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Pengajuan PK oleh KPK terkait kasus Syafrudin dari sisi regulasi, KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subyek pemohon PK yang limitatif, yaitu terpidana dan ahli waris, bukan hak dari penegak hukum, walaupun yurisprudensi tidak konstan peradilan pernah memberikan tempat penegak hukum sebagai subyek pemohon PK,” kata Seno dalam keterangan tertulisnya, Jumat 7 Februari 2020.
Sebagai perbandingan, Seno menjelaskan tentang sisi historis sistem Hukum Pidana Perancis. Di sana, pada prinsipnya PK digunakan sebagai basis perlindungan hak asasi manusia, khususnya rakyat yang mendapat perlakuan kesewenangan hukum oleh kekuasaan.
“Intinya, PK ini hanya diberikan haknya kepada masyarakat yang jadi korban kesewenangan dari kekuasaan. Jadi PK bukan diberikan kepada negara, dalam hal ini penegak hukum,” ujarnya.
Sementara dalam pemahaman Sistem Hukum Pidana Indonesia ini, kata Seno, KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan PK terbatas pada terpidana dan ahli waris dari terpidana. Dengan demikian, negara (jaksa) tidak diberikan legitimasi dan peluang untuk ajukan PK.
“KUHAP tegas jelas tidak memberi tempat dan hak bagi Negara untuk mengajukan PK, jadi dalam melakukan upaya hukum, sebaiknya KPK menjaga prinsip kehati-hatian untuk menjaga kepastian hukum,” katanya.
Seperti diketahui, KPK telah mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas vonis bebas Syafruddin. Sebelumnya Syafruddin dibebaskan Mahkamah Agung (MA) pada Juli 2019 lalu.