MATA INDONESIA, JAKARTA – Negara seharusnya memproteksi masyarakat miskin dan rentan agar tidak terjadi kesenjangan yang semakin besar. Kesenjangan tersebut menurut Teuku Riefky, Ekonom LPEM FEB UI, akan berakibat tidak hanya menurunkan produktivitas. Tetapi juga berisiko memunculkan kejahatan, kerusuhan sosial, dan bahkan pergolakan politik.
”Kita tahu harga keekonomian Pertamax itu misalnya Rp17.000. Pemerintah jual di harga Rp12.000. Artinya ada Rp5.000 yang pemerintah berikan ke pengguna Pertamax. Yang merupakan masyarakat menengah ke atas yang tidak butuh bantuan pemerintah. Nah, ini tidak terjadi secara gratis,” ujar Riefky.
Menurut Riefky, sebagai kebijakan yang populis, kebijakan subsidi BBM di Indonesia memang akan sulit hilang. Ia menambahkan jika nantinya kebijakan ini ingin ada reformasi, maka ongkos politiknya juga akan tinggi. Akan ada pihak-pihak yang akan memanfaatkan isu tersebut untuk meraih simpati masyarakat. Problematika dari adanya kebijakan populis ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
”Jadi artinya kalau reform, ini sangat mudah untuk oposisi melakukan counter balance untuk memenangkan misalnya voting dari masyarakat. Ini nggak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, negara-negara berkembang di Afrika dan Latin Amerika,” katanya.
Contohnya di Amerika Serikat. Kebijakan Obama Care untuk fasilitas kesehatan. Sebetulnya kebocoran dan beban fiskalnya sangat besar. Tapi susah mencabutnya. Maka langkah efisiensinya pun ini sangat susah. ”Jadi ini adalah nature kebijakan populis yang terjadi di berbagai negara,” ujarnya.
Mengapa dulu penerapan kebijakan subsidi padahal saat ini sudah tidak tepat, Riefky menjawab bahwa latar belakangnya adalah terkait permasalahan pendataan penduduk. Alasan inilah yang menyebabkan pemerintah dulu mengeluarkan kebijakan subsidi terhadap barang atau produk.
“Dulu, kita tahu pendataan (penduduk) kita tidak sebaik sekarang. Kita mungkin belum tahu dulu siapa masyarakat yang betul-betul miskin. Siapa masyarakat rentan. Dan siapa yang masyarakat butuh subsidi,” kata Riefky.
Untuk saat ini kondisi pendataan penduduk Indonesia sudah sangat berbeda. Apalagi setelah adanya pandemi Covid-19, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sudah jauh lebih baik. Alasan inilah yang kemudian menimbulkan urgensi perlunya reformasi subsidi BBM, terlebih lagi karena angka jumlah subsidi yang juga sangat besar.
“Kita sudah lebih tahu siapa masyarakat yang memang betul-betul butuh proteksi sosial dari pemerintah. Siapa yang betul-betul miskin. Siapa yang rentan, siapa yang sebetulnya nggak butuh,” katanya.
Jika melihat angka subsidi BBM dari pemerintah maupun estimasi dari berbagai penelitian, itu menunjukkan paling tidak angka subsidi dan kompensasi ini sudah di atas 500 triliun. Apalagi dari angka yang sangat besar ini ternyata yang menikmati juga bukan masyarakat miskin dan rentan ini tujuannya ke situ.
Beberapa studi ada yang menyebutkan 50 persen ke atas bahkan yang paling ekstrem menyebut 80% yang menikmati adalah masyarakat menengah ke atas. ”Jadi kita membayar mahal bukan untuk tujuannya. Nah ini makanya semakin besar dorongan untuk melakukan reform subsidi tadi,” ujar Riefky.
Mekanisme subsidi ini lebih baik adalah yang sifatnya targetted. Jadi, bukan subsidi terhadap satu barang untuk semua kalangan bahkan yang mampu sekalipun. Anggaran subsidi BBM akan lebih baik dari sisi fiskal jika alokasinya untuk masyarakat miskin dan rentan.
“