Mata Indonesia, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek), pada Selasa (28/11). Agenda sidang meliputi pemeriksaan perbaikan permohonan. Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Ricky Thio, Pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam negeri yang memiliki hak merek “HDCVI & LOGO” yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kuasa hukum Pemohon, James Erikson Tamba, mengungkapkan beberapa hal yang telah disempurnakan dalam permohonan, antara lain kerugian konstitusional dan alasan permohonan tentang pengaturan hak merek dari pengaturan internasional yang menjadi dasar pengaturan non-use, yang bermakna tidak menggunakan merek. Kemudian, Pemohon juga memaparkan beberapa peraturan konvensi-konvensi internasional yang berlaku di beberapa negara berikut dengan analisisnya, seperti Singapura, Jerman, Inggris, Swiss, Norwegia.
“Kelima negara ini menggunakan non-use selama jangka waktu lima tahun, sedangkan di Indonesia hanya tiga tahun. Selanjutnya Pemohon juga memberikan ulasan mengenai non-use tidak bersifat wajib dan menjadi pilihan negara yang meratifikasinya. Indonesia adalah negara berdaulat, sehingga dalam hal ini sifat khusus ekonominya ditumpukan pada UMKM,” ujar Erikson.
Sebagai informasi, MK menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) pada Rabu (15/11). Pemohon menguji Pasal 74 UU Merek ihwal penghapusan merek terdaftar. Pemohon menuturkan, norma hukum merek yang dimaksudkan untuk melindungi UMKM seharusnya memperhatikan ciri UMKM dalam negeri.
Pemohon menyebut, ketentuan hukum Pasal 74 ayat (1) UU Merek tentang penghapusan merek yang tidak digunakan selama tiga tahun dalam perdagangan, sangat merugikan UMKM yang memiliki modal terbatas dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sehingga jika terjadi keadaan yang menyebabkan UMKM tidak dapat bereproduksi, misalnya terjadi Pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan lainnya sehingga hak mereknya tersebut dapat dihapuskan akibat berlakunya ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Merek.
Dalam permohonannya, Pemohon memaparkan, ketentuan penghapusan merek dalam Pasal 74 ayat (1) UU Merek, sangat diskriminatif, merugikan usaha-usaha UMKM, dan dapat dijadikan sebagai alat untuk menjalankan praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, Pasal 74 ayat (1) UU Merek dapat dijadikan sebagai alat untuk menjalankan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan mematikan pelaku usaha UMKM, apalagi jika ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Merek digunakan oleh pelaku usaha luar negeri untuk menghapuskan merek pelaku usaha UMKM dalam negeri seperti yang dialami oleh Pemohon.
Selain itu, Pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan prinsip norma hak kekayaan intelektual yang menekankan pada sifat inovatif. Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 74 UU Merek dapat dimanfaatkan pelaku usaha manapun hanya dengan menggunakan lembaga yang tidak memiliki kompetensi untuk menentukan digunakan atau tidak digunakannya suatu merek, untuk menggugat pelaku usaha pesaing pemilik hak merek. Sehingga pemilik hak merek dapat digugat secara terus menerus dan mengalami kerugian waktu dan tenaga dalam proses tersebut. Dengan hal itu, Pemohon berkeyakinan Pasal 74 UU Merek bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak berkuatan hukum mengikat.
(Humas MKRI)