MATA INDONESIA, JAKARTA – Mantan penyelenggara Pemilu 2019 melalui kuasa hukumnya, Heroik Pratama mengajukan uji konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar memutuskan tidak menyatukan penyelenggaraan pemilihan presiden, DPR, DPRD baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Pengalaman Pemilu 2019, beban berat itu membuat banyak penyelenggara pemilu kelelahan hingga jatuh sakit, bahkan 800 orang lebih meninggal dunia,” kata Heroik, Selasa 27 April 2021.
Saat ini penyelenggaraan Pemilu masih menggunakan format lima kotak serentak yang dinilai tidak sesuai dengan putusan MK.
MK melalui Putusan Ni. 55/PUU-XVII/2019 tersebut diperintahkan memilih format keserentakkan pemilu, pembentuk undang-undang mesti melibatkan partisipasi banyak kalangan untuk mendapatkan masukan atas pilihan keserentakkan pemilu.
Menurut Para Pemohon, pembentuk undang-undang belum melakukan beberapa prasyarat yang diperintahkan MK di dalam menentukan sistem keserentakkan pemilu.
Pilihan pembentuk undang-undang yang tidak melakukan revisi UU Pemilu, dianggap memilih format keserentakkan pemilu lima kotak tanpa menghitung secara cermat beban kerja penyelenggara, khususnya KPPS, PPS, dan PPK.
Sementara dalam permohonan uji konstitusionalitas itu, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa keserentakkan pemilu tidak menggabungkan pemilu Presiden, DPR, dan DPD dengan Pemilu DPRD Provinsi dan DPRR Kabupaten/Kota.
Menurut pemohon, menggabungkan empat pemilu legislatif sekaligus, menjadi salah satu penyebab rumit dan beratnya beban penyelenggara pemilu.
Terkait format keserentakan seperti apa yang akan dipilih, dipersilahkan pembentuk undang-undang memilih, sepanjang tidak menyerentakan Pemilu Serentak Nasional (Presiden, DPR, dan DPD), bersamaan dengan Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.