MINEWS.ID, JAKARTA – Nama Marsinah tidak bisa kita lepaskan dari buruh migran, sebab dia meninggal dunia 8 Mei 1993 penuh misteri.
Publik hanya mengetahui karyawati PT. Catur Putra Surya (CPS) yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh tersebut hilang setelah mendatangi Kodim Sidoarjo 5 Mei 1993 yang saat itu menahan rekan kerjanya.
Sebelumnya 13 buruh perusahaan tersebut ditahan di markas kodim tersebut karena melakukan mogok kerja pada 4 Mei 2019.
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat 8 Mei 1993.
Kondisinya mengenaskan, bahkan dikabarkan kelaminnya terluka hingga menimbulkan pendarahan. Seperti keterangan dokter forensik terkemuka saat itu, Mun’im Idris menilai ada kejanggalan dalam kematian perempuan 24 tahun tersebut.
Untuk mengungkap kematian tersebut 30 September 1993 dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim dengan penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim.
Tim itu terdiri dari penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Yudi Susanto kemudian divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun.
Namun saat naik banding ke Pengadilan Tinggi Yudi Susanto dinyatakan bebas. Sedangkan pegawainya dibebaskan saat kasus tersebut diadili di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).
Hingga kini Keluarga Marsinah masih tidak yakin mereka adalah pembunuh anggota keluarganya.
Meski begitu, perjuangannya menjadi dihargai setelah dia meninggal dunia. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien.
Sementara Organisasi Buruh Internasional (ILO) masih menjadikan kasus Marsinah dikenal sebagai kasus 1773.