Menlu Inggris Desak Junta Militer Pulihkan Demokrasi

Baca Juga

MATA INDONESIA, LONDON – Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab mendesak junta militer untuk menyerahkan kekuasaan dan memulihkan sistem demokrasi di Myanmar. Raab juga memuji keberanian dan jiwa patriotisme Dubes Kyaw Zwar Minn. Selain itu, Dominic juga

“Saya memuji keberanian dan patriotismenya dalam membela apa yang benar. Kami bergabung dengan seruannya untuk segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint dan untuk kembali ke pemerintahan yang demokratis,” tulis Dominic Raab dalam akun Twitter-nya.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Duta Besar Myanmar untuk Inggris memutuskan hubungan dengan junta militer dan menyerukan pembebasan dua pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.

“Diplomasi adalah satu-satunya jawaban dan jawaban atas kebuntuan saat ini. Kami bermaksud untuk memenuhi fungsi bilateral dan diplomatik kami setiap hari,” kata Duta Besar Myanmar untuk Inggris, Kyaw Zwar Minn, melansir Financial Times, Selasa, 9 Maret 2021.

Statement ini dilontarkan Kyaw Zwar Minn usai melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab dan wakil menlu untuk kawasan Asia, Nigel Adams di London.

Sebelum Kyaw Zwar Minn mengambil sikap, Kedutaan Myanmar untuk Amerika Serikat di Washington DC juga memberi indikasi serupa, yakni menghentikan hubungan dengan pemerintahan yang dipimpin oleh junta militer.

Tindakan represif junta militer di Myanmar menuai protes dan kecaman dunia internasional. Paman Sam membekukan aset milik Myanmar senilai 1 miliar dolar AS, sedangkan Australia menangguhkan kerja sama di bidang pertahanan dengan Myanmar.

Selain menangguhkan program kerja sama pertahanan, Canberra juga akan terus menuntut pembebasan segera Sean Turnell –seorang ekonom dan penasihat pemimpin yang digulingkan, Aung San Suu Kyi. Sebagai informasi, Sean Turnell ditahan karena akses konsuler terbatas sejak kudeta yang terjadi pada awal Februari.

Sejak kudeta yang dilakukan oleh junta militer pada awal Februari, setidaknya 60 pengunjuk rasa dilaporkan meninggal dunia dan menahan lebih dari 1,800 pengunjuk rasa. Hal ini berdasarkan laporan kelompok advokasi.

Baik aparat kepolisian maupun tentara telah menembakkan peluru tajam, peluru karet, dan granat kejut ke arah pengunjuk rasa. Pada Senin (8/3), setikdanya tiga orang dilaporkan tewas di kota utara Myitkuina dan di wilayah Ayeyarwady di barat kota Yangon.

Pasukan keamanan Myanmar menekan para pengunjuk rasa di distrik Yangon dan mengancam akan memburu mereka dari pintu ke pintu. Ribuan orang yang mayoritas merupakan generasi muda kembali turun ke jalan di kota utama Myanmar, menentang jam malam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini