Menkes: 60 Persen Alkes dan Obat Bakal Diproduksi di Dalam Negeri

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA-Pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan obat dan alat kesehatan selama pandemi covid-19.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan secara khusus meminta industri dalam negeri agar tidak lagi mengandalkan produk impor, untuk bahan baku obat maupun alat kesehatan (alkes).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun telah mengambil langkah cepat. Pihaknya menargetkan, ke depan 60 persen alkes maupun obat-obatan bisa diproduksi di dalam negeri.

“Ini sesuai instruksi Presiden Jokowi. Kita diminta untuk terus melakukan transformasi sektor kesehatan. Keinginan kita 50 hingga 60 persen alat kesehatan dan obat diproduksi dari hulu ke hilir di dalam negeri,” kata Budi.

Untuk produksi jenis alat kesehatan dengan tingkat kecanggihan yang tinggi, dikatakan Menkes, harus menggunakan strategi khusus.

Salah satunya dengan mengundang investor yang mampu memproduksi untuk melakukan produksi di Indonesia.

“Untuk alat kesehatan dengan teknologi yang bisa dibuat sendiri, langsung ditingkatkan produksinya secara nasional,” katanya.

Budi menyampaikan, enam transformasi sektor kesehatan yang menjadi targetnya dapat terpenuhi hingga masa jabatannya berakhir.

Yakni transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan dan transformasi teknologi kesehatan.

“Ada enam transformasi sektor kesehatan yang akan dilakukan yaitu transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan dan transformasi teknologi kesehatan,” jelas dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini