Home News Memanasnya Konflik Timur Tengah Bikin Rupiah Ditutup Anjlok

Memanasnya Konflik Timur Tengah Bikin Rupiah Ditutup Anjlok

0
191
Ilustrasi Rupiah
Ilustrasi Rupiah (istimewa)

MINEWS.ID, JAKARTA – Nilai tukar rupiah berbalik melemah pada akhir perdagangan Senin 16 September 2019. Rupiah tercatat di posisi Rp14.040 per dolar Amerika Serikat (AS) atau melemah 0,54 persen.
Kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.020 per dolar AS atau melemah dibanding Jumat kemarin yakni Rp13.950 per dolar AS. Pada hari ini, rupiah berada di dalam rentang Rp13.965 per dolar AS hingga Rp14.055 per dolar AS.
Mengutip data RTI Business, beberapa mata uang utama Asia bergerak variatif terhadap dolar AS. Dolar Singapura melemah 0,03 persen, yuan China melemah 0,40 persen dan yen Jepang yang menguat terhadap dolar AS sebesar 0,29 persen.
Mata uang negara maju seperti euro melemah 0,06 persen dan poundsterling Inggris melemah 0,49 persen terhadap dolar AS. Namun, dolar Australia menguat 0,06 persen.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa pelemahan rupiah disebabkan oleh sejumlah sentimen dari eksternal dan internal di antaranya sebagai berikut.
Perkembangan di Timur Tengah kembali memanas akibat salah satu kilang miyak Arab Saudi yaitu fasilitas pengolahan minyak mentah milik Saudi Aramco, diserang. Dan Iran yang di jadikan kambing hitam.
Tapi, Teheran tidak terima atas tuduhan tersebut. Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menyatakan bahwa tudingan AS dan sekutunya tidak berdasar dan ini merupakan skenario baru
Serangan Drone menyerang fasilitas pemrosesan minyak di Abqaiq, yang terbesar di dunia, dan ladang minyak Khurais di dekatnya pada hari Sabtu dan merobohkan 5 persen dari pasokan minyak global. Rusia meyakini bahwa insiden tersebut tidak akan berpengaruh terhadap stabiltas pasar energi dunia.
“Serangan pesawat tak berawak ke infrastruktur minyak Arab Saudi merupakan peristiwa yang mengkhawatirkan bagi pasar minyak. Namun turbulensinya tidak akan berpengaruh pada stabilitas pasar energi,” kata dia sore ini.
Kenaikan harga minyak tersebut juga membawa sentimen negatif bagi rupiah. Alasannya karena Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri belum memadai.
Sepanjang Januari-Juli, ekspor migas Indonesia tercatat 1,6 miliar dolar AS sementara impornya 1,75 miliar dolar AS. Tekor 150 juta dolar.
“Jadi kalau harga minyak naik, maka biaya impor migas bakal semakin mahal. Artinya akan semakin banyak devisa yang ‘terbakar’ untuk impor migas, membuat tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) meningkat,” ujar Ibrahim.
Saat devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret, maka fondasi penyokong rupiah menjadi rapuh karena bergantung kepada portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
“rupiah akan rentan melemah. Dibayangi risiko depresiasi, rupiah tentu tidak menjadi pilihan. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya bisa melemah sewaktu-waktu?,” kata dia.