MATA INDONESIA, JAKARTA – Kuatnya budaya patriarki menjadi salah satu tantangan bagi kaum perempuan dalam kontestasi Pilkada 2020, menurut Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem).
“Hambatan sosial dan budaya gitu ya, budaya patriarki yang mungkin masih ada anggapan bahwa pemimpin itu bukan perempuan,” kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, Minggu 27 September 2020.
Selain itu, tantangan lainnya adalah tingginya syarat regulasi batasan pencalonan, yang mewajibkan minimal harus 20 persen kursi DPRD atau 25 persen dari suara pemilu sebelumnya.
“Nah tentu ini yang menjadi kesulitan perempuan karena dia harus dicalonkan dulu dari partai politiknya. Tetapi belum tentu jika dia dicalonkan partai politik, koalisinya mendukung si perempuan. Maka itu menjadi tantangan, karena sulitnya partai politik dapat mengusung calon tanpa berkoalisi,” ujarnya.
“Kalau partai koalisinya mengusung yang lain, sehingga ada kompromi dalam koalisi tersebut. Dan bisa jadi si perempuan yang seharusnya tadi mendapatkan tiket dari partai politik bisa tidak jadi maju dalam kontestasi Pilkada,” kata Khoirunnisa menambahkan.
Tantangan selanjutnya, yakni demokratisasi pada internal partai politik yang dianggap belum efektif. Ia menilai walau dalam undang undang, syarat partai politik, ketika mencalonkan haruslah demokratis. Tetapi makna akan demokratis itu dikembalikan lagi kepada AD/ART setiap partai politik.
“Nah ini yang tidak pernah terbuka dan disampaikan ke publik, kenapa kemudian misal ada si a atau si b yang dicalonkan. Mungkin ada perempuan yang jadi kader partai lama lama, tetapi kemudian yang dipilih calon lainnya,” ucapnya.
Terakhir, tambahnya, sulitnya membuat calon alternatif atau perseorangan non partai politik, bagi perempuan pada Pilkada 2020. Karena syarat yang sulit di mana harus mengumpulkan dukungan yang banyak dari masyarakat.