Korban Selamat Tragedi 9/11: WTC Saat Itu Bak Zona Perang

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON –  Seorang warga Inggris, Charlie Gray mengira gempa bumi tengah melanda New York ketika ia bekerja di Menara Utara World Trade Center (WTC)  pada 11 September 2001. Kenyataannya, pesawat komersial sedang dibajak untuk menyerang menara kembar yang kini dikenal sebagai tragedi 9/11.

Pria kelahiran London yang bekerja di perusahaan pialang ICAP tengah berada di kantornya di lantai 26 ketika gedung “berguncang dan bergerak.” Tiba-tiba, ia melihat puing-puing jatuh dari lantai atas.

“Anda bisa melihat barang-barang ini benar-benar terbakar. Kami pikir itu pasti sesuatu seperti bom. Tidak ada yang harus memberitahu kami. Semua orang hanya menuju tangga,” kata Charlie kepada Sky News, Sabtu, 11 September 2021.

Charlie dan rekan-rekannya mulai berlari menuruni menara tetapi mereka melambat karena semakin banyak orang memasuki tangga darurat. Mereka kemudian melewati tiga petugas pemadam kebakaran di lantai 17.

“Saat mereka melewati kami, kami mendengar di radio mereka ada pesawat lain yang menabrak Menara Selatan. Butuh waktu sekitar 17 menit untuk turun sembilan lantai,” ungkapnya.

Ini seperti zona perang

Charlie menggambarkan pemandangan di luar World Trade Center saat itu sebagai “seperti zona perang.” Ia juga mengatakan melihat bagian tubuh berserakan di jalan dan mobil yang telah hancur oleh puing-puing yang jatuh.

Sebuah tubuh hangus berawarna hitam mendarat sekitar 30 kaki jauhnya saat dia berjalan ke terminal feri dan dia melihat 20 orang melompat dari menara, kisahnya.

“Apa pilihan mereka? Anda berdiri dan mati karena menghirup asap, Anda terbakar sampai mati, atau Anda melompat dengan cepat dan menyelesaikannya,” katanya.

Setelah naik feri, Charlie mendengar gemuruh dan menyaksikan Menara Selatan WTC turun. “Dalam waktu kurang dari satu menit, dermaga tempat kami baru saja berdiri dipenuhi debu dan kotoran,” kenangnya.

Charlie mengatakan 20 temannya tewas hari itu – termasuk satu yang dilihatnya di lobi Menara Utara sesaat sebelum pesawat pertama menyerang. Dia mengatakan seorang psikiater kemudian mendiagnosisnya dengan bentuk PTSD yang disebut gangguan rasa bersalah.

“Saya mengalami kesulitan memahami mengapa begitu banyak orang meninggal dan saya tidak,” kata Charlie.

“Saya memikirkan banyak hal dan sungguh itu adalah hari yang buruk. Kenangan buruk itu tidak akan pernah hilang. Tetapi saya menemukan bahwa membicarakannya dan berbagi pengalaman saya dengan orang-orang membantu saya melewatinya,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Di Era Pemerintahan Presiden Prabowo, Korban Judol Diberikan Perawatan Intensif di RSCM

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat mengumumankan adanya inisiatif baru dalam upaya menangani dampak sosial dan psikologis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini