MATA INDONESIA, JAKARTA – Komnas Perempuan nggak setuju dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati, Herry Wirawan karena bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia).
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung, Herri Swantoro mengabulkan hukuman mati tersebut setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung, yang menghukum Herry pidana penjara seumur hidup.
Selain vonis mati, Herry juga diwajibkan membayar restitusi sebesar 300 juta Rupiah lebih. Vonis itu menganulir putusan PN Bandung, yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengatakan, pihaknya tak mendukung hukuman mati kepada Herry Hirawan. Tapi, mereka mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Bandung terkait restitusi. Dia menyebut pembayaran restitusi yang dibebankan kepada pelaku menjadi bentuk putusan maksimal.
“Komnas Perempuan menentang hukuman mati karena bertentangan dengan norma internasional hak asasi manusia yang paling dasar hak untuk hidup,” ujarnya.
“Hakim banding mengoreksi bahwa restitusi adalah hak korban dan menjadi kewajiban pelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami korban, yang sumbernya berasal dari kekayaan pelaku, bukan negara. Dengan mengoreksi sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan, maka untuk putusan maksimal dapat ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban membayar restitusi,” katanya.
“Demikian juga halnya untuk perawatan dan pengasuhan anak-anak, menjadikan izin atau persetujuan korban dan keluarganya menjadi prasyarat sebelum anak-anak yang lahir dari pemerkosaan atau kekerasan seksual dirawat dan diasuh dalam perawatan negara,” ucapnya.
Rainy menambahkan, Komnas Perempuan mendorong pemerintah memperhatikan kebutuhan dan pemulihan korban. Sehingga para korban bisa pulih dan melanjutkan kehidupan.
“Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah memperhatikan kebutuhan korban, khususnya pemulihan. Saya pikir ini merupakan hal penting agar korban menjadi penyintas dan dapat melanjutkan kehidupannya pulih dari trauma,” ungkapnya.