Ketahuan, Banjir ‘Serang’ Jakarta Lagi Karena Gubernur Anies Gak Lakukan Ini

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Banjir yang “menyerang” 17 titik di Jakarta dua hari lalu salah satunya karena Gubernur Anies Baswedan tidak melanjutkan program normalisasi Kali Ciliwung.

Hal itu diungkapkan staf khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali melalui sebuah radio siaran nasional, di Jakarta, Minggu 28 April 2019.

Menurutnya, program normalisasi di kali itu terakhir dilakukan pada tahun 2016 atau saat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Hal tersebut juga sering disuarakan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono. Normalisasi sungai di Jakarta bisa menjadi bagian dari penanggulangan banjir di ibu kota.

Menurutnya sejak dua tahun terakhir tidak ada pembebasan lahan sekitar aliran sungai.

Menteri Basuki menegaskan normalisasi tersebut memang dikerjakan pemerintah pusat, tetapi pembebasan lahannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Padahal pengendalian banjir Jakarta merupakan janji kampanye Anies saat akan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Menurut Basuki, program pengendalian banjir Jakarta dilakukan dengan beberapa proyek simultan yaitu penataan daerah aliran sungai, pembuatan Waduk Ciawi, Waduk Sukamahi dan membuat sodetan.

Kementerian PUPR, menegaskan normalisasi sungai seperti yang sudah dikerjakan di Sungai Ciliwung yaitu menata dan melebarkan sungai tersebut.

Namun semua itu tidak pernah ditanggapi serius oleh Gubernur Anies karena tidak pernah datang ketika diundang Kementerian PUPR untuk membahasnya. Hanya staf biasa yang diutus. Hingga kini, kementerian itu masih menunggu kesediaan sang gubernur.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini