MATA INDONESIA, JAKARTA –– Keren. Saat pandemi Covid-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berlaku di beberapa wilayah, tidak menjadi penghalang bagi Agung Nugraha dan Sulistyo untuk meraih gelar Doktor Siber yang pertama di Indonesia.
Agung dan Sulistyo berhasil meraih gelar tersebut dengan nilai A setelah lulus Sidang Ujian Doktor Terbuka Bidang Hubungan Internasional Program Pascasarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran secara online melalui video conference, pada Rabu, 15 April 2020.
Sidang ujian terbuka ini dipimpin oleh Dekan FISIP Universitas Padjadjaran Dr R Widya Setiabudi Sumadinata MT, MSi (Han) selaku Ketua Sidang, yang juga menjadi Anggota Promotor.
Sidang tersebut didampingi oleh Ketua Tim Promotor Prof Dr Arry Bainus MA, Oponen Ahli Dr Wawan Budi Darmawan, SIP dan beberapa orang lainnya, serta selaku Representasi Guru Besar Prof Dr Nandang Alamsah Deliarnoor SH M.Hum.
Untuk Agung, sidang ujian terbuka dilakukan pada pukul 10.00-12.00 WIB, dilanjutkan dengan Sulistyo pada pukul 13.00-15.30 WIB.
Sebelumnya, baik Agung maupun Sulistyo sudah lulus dari Sidang Ujian Doktor Tertutup, pada 24 Januari 2020, di Ruang Sidang Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Gedung A Lantai 2.
”Saya bangga kepada Agung Nugraha dan Sulistyo atas pemaparan disertasi yang kritis dan berkorelasi dengan kehidupan saat ini, serta berhasil lulus menjadi Doktor Siber pertama di Indonesia,” kata Ketua Tim Promotor Sidang Ujian Doktor Terbuka Prof Dr Arry Bainus MA dalam penjelasan resminya, seusai sidang.
Pada sidang terbuka, Agung berhasil mempertahankan disertasinya yang bertajuk ‘Penanggulangan Terorisme Siber pada Media Sosial di Indonesia.’
Menurutnya, terorisme siber merupakan ancaman nyata bagi Indonesia. Teknologi digital, media sosial, dan media layanan pesan telah dimanfaatkan oleh kelompok teroris dalam melakukan aktivitas kejahatan, seperti propaganda, radikalisasi, rekrutmen anggota, perencanaan serangan, sarana interaksi dan komunikasi, serta pendanaan kelompok terorisme.
Pemerintah Indonesia, menurut Agung, perlu segera merancang strategi penanggulangan ancaman siber ini. Seperti membuat regulasi keamanan siber, memperkuat kerja sama, baik dengan aktor negara dan non-negara di bidang siber, serta membangun pemahaman sosialisasi tentang bahaya terorisme siber ke masyarakat.
Adapun Sulistyo, berhasil mempertahankan disertasinya dengan tajuk “Diplomasi Siber Indonesia dalam Menghadapi Potensi Konflik Siber.” Dalam paparannya, dia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah konkrit dengan membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Guna mencegah dan mengantisipasi munculnya potensi konflik siber, Pemerintah Indonesia melalui BSSN melakukan diplomasi siber dengan berbagai aktor, baik aktor negara maupun non-negara.
Selain itu, Sulistyo juga menambahkan bahwa rekonstruksi politik hukum diplomasi siber perlu diperkuat agar bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia. Peran BSSN juga sangat penting dalam pelaksanaan operasionalisasi kesepakatan-kesepakatan, guna meningkatkan kemampuan mitigasi risiko serangan siber yang dapat memicu konflik siber.