Kelompok Paling Miskin, Subsidinya Paling Tipis

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Mobilitas masyarakat meningkat pesat dan roda ekonomi bergulir lebih cepat di sepanjang 2022. Seiring meredanya pandemi. Situasi beranjak normal. Namun, konsekuensinya konsumsi energi pun melonjak tinggi. Pemakaian BBM terutama Solar dan Pertalite, gas LPG di rumah tangga, serta listrik meroket. Jauh melampaui kalkulasi sebelumnya. Subsidi dan kompensasi energi melonjak tinggi.

‘’APBN tahun 2022 ini mengalami tekanan yang sangat berat,’’ ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun 2022 sebesar Rp502 triliun tak akan cukup di tengah lonjakan konsumsi saat ini. Kuota Solar dan minyak Pertalite bersubsidi yang masing-masing tersedia 15,1 juta kiloliter dan 23,05 juta kiloliter di tahun 2022 ini akan amblas pada Oktober 2022.

Kebutuhannya riilnya meningkat menjadi 17,44 juta kiloliter pada Solar dan 29,07 juta kiloliter pada Pertalite. Masing-masing terungkit 15 persen dan 26 persen dari perhitungan sebelumnya. Belum lagi, adanya lonjakan pada listrik dan gas LPG. Utamanya yang kemasan tabung melon 3 kg.

‘’Kalau semuanya bertahan pada harga yang ada sekarang ini, maka dari anggaran subsidi dan kompensasi Rp 502 trilun itu akan perlu tambahan Rp195,4 trilun lagi,’’ ujar Sri Mulyani.

Kebutuhan tambahan itu tentu akan menjadi tekanan berat ke APBN. Padahal, angka Rp502 triliun ini sudah amat besar. Menyebutnya sebagai sense of magnitude, Sri Mulyani mengatakan bahwa dana Rp502 triliun itu bisa untuk membangun 227.886 unit bangunan sekolah dasar (SD). Atau 41.666 unit puskesmas. Uang sebesar itu juga dapat  membangun 3.333 unit rumah sakit kelas menengah di daerah-daerah.

‘’Kalau membangun jalan tol, panjangnya bisa sampai 3.500 kilometer,” katanya. Sebagai catatan, panjang tol dari Banda Aceh di ujung barat ke Bakauhuni di timur provinsi itu “hanya” sekitar 2.200 km.

Pos subsidi dan kompensasi energi itu ialah anggaran APBN untuk menambal selisih harga jual energi dari Pertamina dan PLN. Dengan harga keenonomiannya. Bedanya, dana subsidi itu teralokasikan di depan.  Sedangkan kekurangannya akan di bayar pada tahun berikutnya sebagai kompensasi.

Besaran subsidi dan kompensasi energi pada tahun-tahun sebelumnya tergolong normal. Pada tahun anggaran (TA) 2018, pemerintah mengalokasikan Rp153,5 triliun. Pada 2019 turun ke Rp144 triliun. Lalu meningkat menjadi Rp199,9 trilun di 2020, dan Rp188,3 triliun di tahun 2021.

Bengkaknya subsidi-kompensasi menjadi Rp502 triliun pada 2022 tak lepas dari kewajiban pemerintah membayar kompensasi. Kepada Pertamina dan PLN, yang menjual produk energinya di bawah nilai keenonomiannya pada tahun-tahun sebelumnya. Nilainya hampir Rp295 trilun. Angka subsidinya sendiri Rp207 triliun.

Bahwa angka pembayaran ke PLN dan Pertamina itu cukup besar. Itu terkait dengan kinerja APBN yang moncer di tahun 2022. Ada durian runtuh, windfall dari sisi penerimaan. Lantaran lonjakan harga-harga komoditas di pasar dunia. Ada rezeki nomplok sebesar Rp 420 triliun yang menambah tebal koper APBN. Untuk membuat Pertamina dan PLN dapat beroperasi secara sehat, kompensasi itu pun terbayarkan.

Yang di luar perkiraan adalah soal harga minyak mentah dan gas di pasar dunia. Pemulihan ekonomi dunia sejak 2021, oleh permintaan akan minyak dan gas yang tinggi, tidak terimbangi oleh pasokan yang memadai. Harganya bergerak terus naik. Dan situasi buruk oleh guncangan geopolitik di Ukraina. Sudah ketersediaannya terbatas, rantai pasok energi dan pangan terganggu oleh perang di Ukraina.

Maka, asumsi APBN 2022 ihwal harga minyak meleset. Indonesia Crude Price (ICP) yang menjadi acuan APBN sebesar USD62 per barel. Dalam kenyataannya melesat sampai di atas USD100/barel. Nilai tukar rupiah yang sebesar Rp14.350 nyatanya saat ini bergerak di kisaran  Rp14.700. Harga jual BBM Pertamina pun semakin menjauh dari nilai keekonomiannya.

Untuk Solar misalnya. Pertamina menjual dengan harga Rp5.150. Padahal, nilai keekonomiannya Rp13.950 per liter. Dus, ada subsidi 63 persen di dalamnya. Untuk Pertalite (RON 90) Rp7.650 per liter. Sementara nilai keekonomiannya Rp14.450. Jadi, ada subsidi sebesar 47 persen.

‘’Untuk gas LPG rumah tangga, tabung 3 kg, dijual eceran Rp4.250 per kg. Harga keekonomiannya Rp18.500 per kg. Jadi, di setiap satu tabung ada subsidi Rp42.750,’’ ujar Menkeu.

Harga BBM di Indonesia tergolong paling murah. Untuk kelas Pertalite RON 90, yang di Indonesia dijual Rp7.650, di Thailand harganya Rp19.500 per liter, di Vietnam Rp16.645, bahkan di Filipina mencapai Rp21.350 per liter.

Menkeu Sri Mulyani mengatakan, subsidi selama ini kurang tepat sasaran. ‘’Yang menikmati subsidi itu lebih banyak dari kalangan masyarakat menengah ke atas,’’ ujar Menkeu Sri Mulyani.

Kelompok rentan, yakni 40 persen penduduk termiskin, justru tidak menikmati subsidi itu, antara lain karena memang tidak banyak mengonsumsi energi BBM, gas, maupun listrik. Untuk gas LPG 3 kg yang sarat subsidi itu, menurut Menkeu, 68 persen dikonsumsi oleh mereka yang cukup mampu. ‘’Masyarakat miskin, hanya mengkonsumsi 32 persen,’’ kata Menkeu Sri.

Begitu halnya dengan Pertalite. Masyarakat yang masuk ke dalam 40 persen pendududuk termiskin hanya mengonsumsi 14 persen dari Pertalite rumah tangga. Selebihnya, untuk kelompok yang ada di atasnya. Untuk Pertalite, pasarnya 80 persen rumah tangga dan 20 persen dunia usaha. Solar pun sama saja. Jadi kelompok masyarakat terbawah subsidinya tipis-tipis.

Maka, penyesuaian harga BBM menjadi sebuah keniscayaan. Menempatkan harga BBM pada posisi yang lebih wajar, tidak hanya menyelamatkan kapasitas fiskal negara (APBN) di tahun yang berjalan, melainkan juga meringankan APBN di tahun-tahun mendatang. Hanya saja, yang kini menjadi perhatian pemerintah adalah dampak inflasinya. Situasinya tidak mudah.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Tinggal Menunggu Hari, Pengamat Politik Ingatkan 12 Kerawanan Ini

Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November mendatang mendapat sambutan positif, terutama dalam hal efisiensi biaya dan penyelarasan pembangunan. Menurut Yance...
- Advertisement -

Baca berita yang ini