Kelompok Kerja ECE C20 Gelar Diskusi Santai Bersama Masyarakat dan Komunitas di Kupang

Baca Juga

MATA INDONESIA, KUPANG – Kelompok kerja ECE C20 menggelar diskusi santai bersama masyarakat dan komunitas di Kupang mengenai permasalahan lingkungan serta dampak dari perubahan iklim terhadap kehidupan di Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini digelar di Silvya Hotel Premier Kupang pada Jumat, 24 Juni 2022.

Divisi Pengelola Sumber Daya Alam dan Kampanye WALHI NTT Yuvensius Nonnga yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam diskusi tersebut mengungkapkan sejumlah persoalan yang sedang terjadi di NTT.

Ia mengatakan bahwa bila berbicara terkait isu ekologi, NTT memiliki beban ganda. Yang pertama, secara geografis NTT merupakan salah satu daerah yang terdampak langsung dengan perubahan iklim. Kemudian yang kedua adalah masifnya investasi yang masuk ke NTT.

Selain itu, NTT juga terdiri dari banyak Pulau Kecil. Salah satu pulau yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim atau pemanasan global adalah Pulau Salura, penghasil cumi terbesar di Asia yang terletak di Sumba bagian Selatan dan paling dekat dengan Samudera Hindia.

Wilayah NTT juga didominasi oleh Karst dan Padang Savana. Khususnya Kota Kupang merupakan daerah yang dikelilingi oleh Karst.

“Karst itu bisa dikatakan sebagai Tanki alam yang punya siklus hidrologi yang unik. Dan para orang tua dulu paham soal hal ini. Itulah mengapa ada nama tempat yang mengunakan kata ‘Oe’ (air) seperti Oesapa, Oepura atau Oebah. Namun saat ini hal-hal tersebut yang menjadi kearifan budaya mulai terlupakan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa saat ini di Pulau Flores sudah mulai disulap menjadi lahan investasi super premium. Lalu di Sumba terutama wilayah pesisir sudah diprivatisasi secara massif. Padahal ruang pesisir seharusnya jadi ruang konservasi dan akses publik.

“Hal ini tentu akan membuat anak-anak kita ke depan akan sulit untuk mendapat akses ke pantai atau pesisir,” katanya.

Selanjutnya Zadrak Nenu dari Komunitas Genk Motor Imut NTT menekankan perlunya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim di NTT. Sebab kalau hal ini tidak dilakukan, apapun perencanaan pembangunannya tentu akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat.

” Salah satu contohnya saat ini para petani masih terkendala dengan ketersediaan pupuk dan masih bergantung pada subsidi pupuk kimia. Mereka juga sampai saat ini masih mengeluh karena tekstur tanah rusak dan hasil panennya tidak maksimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Salah satu caranya yaitu dengan memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk organik,” ujarnya.

Sementara Gilbert dari Komunitas Kopi mengungkapkan bahwa wilayah NTT sebenarnya kaya akan kopi.

“Mungkin selama ini orang-orang dari luar cuma mengenal kopi dari Manggarai atau Bajawa saja. Padahal dari 22 Kabupaten/Kota di NTT ada 13 Kabupaten yang memiliki kopi yang khas. Misalnya di Sumba ada kopi Wejewa dan kopi lagalete. Atau di Timor ada kopi Oebiteno dan Leolboko yang mulai jadi primadona baru,” ujarnya.

Sebagai informasi, C20 Indonesia merupakan konferensi non pemerintah dari rangkaian kegiatan Presidensi Indonesia di KTT G20 yang akan merepresentasikan suara masyarakat sipil. Indonesia sebagai salah satu anggota yang baru bergabung di G20 dalam beberapa tahun terakhir masih belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Jadi Duta Komunikasi WWF, Cinta Laura Ajak Generasi Muda Peduli Krisis Air

Bali – Duta Komunikasi World Water Forum (WWF) ke-10 Cinta Laura mengajak generasi muda untuk lebih peduli pada persoalan...
- Advertisement -

Baca berita yang ini