Kasus Flu Spanyol Seabad Lalu Jangan Terulang di Indonesia saat Pandemi Covid19 Ini

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kondisi pandemi Covid19 di Indonesia sekarang dinilai mirip dengan pandemi flu Spanyol yang melanda kawasan Hindia Belanda sekitar 1918 atau lebih dari satu abad lalu. Saat itu orang lebih percaya mitos dan meremehkan pandemi tersebut sehingga merenggut 416 ribu nyawa manusia Nusantara dan tercatat kelima terbanyak di dunia.

Edukator Covid19, dr RA Adaninggar mengingatkan hal tersebut agar kita tidak mengulang peristiwa satu abad lalu tersebut.

“Baca-baca sejarah mengenai flu Spanyol sangat amat mirip dengan kondisi pandemi yang sekarang pandemi yang sempat diremehkan serta orang lebih percaya mitos dan takhayul,” demikian pesan perempuan dengan panggilan Dokter Ning yang diterima Mata Indonesia News, Selasa 23 Maret 2021.

Flu tersebut masuk dari Singapura dan Kalimantan karena aktivitas perdagangan hingga menyebar ke wilayah Hindia Belanda lainnya.

Namun, saat awal masuknya virus flu tersebut Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakatnya tidak memedulikan, padahal sudah dikabari konsul mereka di Singapura dan Hongkong.

Akibatnya pandemi tersebut berlangsung lama. Sejak dihitung masuknya virus pertama kali pada 1917 dan baru mereda sekitar 1920.

Angka kematian terbesar tercatat di Jawa Timur dengan 42 orang per 1.000 penduduk, disusul Jawa Tengah dengan 39,1 dan Jawa Barat 26,9 per 1.000 penduduk.

Namun, Pemerintah Hindia Belanda tetap tidak peduli bahkan banyak komunitas masyarakat mencoba menyelesaikannya dengan ritual tradisional yang mengundang banyak orang di suatu tempat sehingga memudahkan penyebaran flu tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

PKL Teras Malioboro 2: Suara Ketidakadilan di Tengah Penataan Kawasan

Mata Indonesia, Yogyakarta – Sejak relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Malioboro ke Teras Malioboro 2, berbagai persoalan serius mencuat ke permukaan. Kebijakan relokasi yang bertujuan memperindah Malioboro sebagai warisan budaya UNESCO justru meninggalkan jejak keresahan di kalangan pedagang. Lokasi baru yang dinilai kurang layak, fasilitas yang bermasalah, dan pendapatan yang merosot tajam menjadi potret suram perjuangan PKL di tengah upaya mempertahankan hidup.
- Advertisement -

Baca berita yang ini