MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Ketika para pengunjuk rasa anti junta militer beralih ke pemberontakan bersenjata dan perang gerilya dalam beberapa pekan terakhir, junta militer Myanmar dan para pendukungnya melakukan propaganda di media sosial.
Dalam postingan di Facebook dan TikTok, junta militer Myanmar mengklaim para pengunjuk rasa yang mengangkat senjata tak ubahnya seperti kelompok teroris, yakni Taliban dan ISIS. Tak hanya itu, junta militer – yang tanpa menyertakan bukti, bahkan mengatakan bahwa umat Muslim berada di balik serangan tersebut.
Pernyataan ini sangat memprihatinkan mengingat Islamofobia yang mengakar di Myanmar dan sejarah kekerasan massal baru-baru ini terhadap minoritas Muslim Rohingya, yang sebagian didorong oleh ujaran kebencian dan disinformasi online.
Dalam menghadapi tindakan keras brutal aparat keamanan terhadap protes damai yang sejauh ini telah menewaskan hampir 900 warga sipil, para penentang kudeta militer telah mulai melawan – melakukan pemberontakan bersenjata di daerah pedesaan dan menggunakan taktik gerilya di pusat-pusat kota.
Serangan bom dan pembunuhan telah menargetkan pasukan keamanan, pejabat rezim, dan mereka yang dianggap sebagai simpatisan. Bahkan fasilitas pendidikan telah dibakar dan dibom ketika junta militer Myanmar berusaha untuk membuka kembali sekolah secara paksa di tengah boikot yang meluas, meskipun pasukan pro-demokrasi sebagian besar membantah terlibat dalam serangan itu.
Narasi propaganda ini pertama kali dilakukan oleh U Ye Htut, yang merupakan Menteri Informasi di pemerintahan Partai Solidaritas dan Pembangunan yang bersekutu dengan militer. Unggahannya di Facebook (16/5) mendapat berbagai puluhan ribu respons dan 7,300 kali dibagikan.
“Sekolah itu dibom. Membakar berarti membunuh siswa dan guru karena mempelajari sesuatu yang tidak ingin diajarkan. Pemboman sebuah sekolah di Afghanistan telah menjadi identik dengan tindakan gerilyawan Taliban,” tulis Ye Htut di Facebook, melansir Frontier Myanmar, Selasa, 29 Juni 2021.
Dia melanjutkan dengan mengklaim bahwa meskipun Tatmadaw –panggilan lain dari militer, telah melakukan banyak kampanye melawan kelompok pemberontak etnis, organisasi bersenjata etnis tidak pernah menargetkan sekolah.
“Taliban tidak bekerja untuk demokrasi. Mengikuti Taliban tidak demokratis!” sambungnya.
Seorang anggota Angkatan Bersenjata Anti-Fasis di Yangon membantah bahwa kelompok pro-demokrasi menargetkan sekolah. Ia junga mengatakan bahwa serangan terhadap anak-anak sama sekali tidak akan ditoleransi.
Narasi ini bahkan telah mendapat persetujuan junta, masuk ke media pemerintah dan pertemuan pemerintah. TV Myawady yang dikendalikan militer menyiarkan wawancara dengan seorang biarawan yang mengklaim pendukung Liga Nasional untuk Demokrasi (partai Aung San Suu Kyi) membakar sebuah desa di Wilayah Magway, Myanmar.
Namun, berita tersebut bertentangan dengan laporan saksi yang justru mengatakan bahwa kebakaran desa tersebut disebabkan oleh pasukan keamanan Myanmar.
“Hanya kelompok pendukung Taliban dan NLD yang membakar sekolah di dunia,” kata biksu itu.